Minyak Dunia Anjlok, Penerimaan Negara Berpotensi Raib Rp 130 T?
Reporter
Ghoida Rahmah
Editor
Ali Akhmad Noor Hidayat
Selasa, 10 Maret 2020 05:00 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Pelemahan tajam harga minyak dunia turut menambah ketidakpastian perekonomian global, yang sebelumnya telah cukup tertekan oleh merebaknya virus Corona (Covid19). Kemarin, harga minyak mentah dunia jenis Brent tercatat anjlok hingga lebih dari 20 persen ke level US$ 36,15 per barel.
“Kondisi ini mendorong koreksi di pasar keuangan global, dan diperkirakan akan mempengaruhi sentimen investasi di pasar keuangan negara berkembang, termasuk Indonesia,” ujar Kepala Ekonom PT Bank Permata Tbk, Josua Pardede kepada Tempo, Senin 9 Maret 2020.
Hal itu tercermin dari Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), yang sejak awal tahun telah terkoreksi hingga 18,2 persen (year to date), dan nilai tukar rupiah yang melemah sebesar 3,8 persen (year to date). “Di tengah meningkatnya sentiment pasar yang cenderung menjauhi risiko, pelaku pasar global cenderung akan memarkirkan investasinya pada safe haven asset seperti surat berharga negara dan emas,” kata Josua.
Ekonom Institute for Development of Economic and Finance (INDEF), Abra Talattov menuturkan penurunan harga minyak dunia ini diproyeksi masih akan berlanjut hingga beberapa waktu ke depan, bahkan berpeluang menyentuh kisaran US$ 20 per barel. “Kondisinya jangka panjang karena masih terimbas Corona, seperti aktivitas industri penerbangan yang turun, dan permintaan minyak dunia secara keseluruhan cenderung turun,” kata dia.
Alhasil, negara-negara penghasil minyak, khususnya di Timur Tengah berlomba untuk merebut pasar global, berupaya menjual produksi minyaknya di tengah lesunya permintaan. “Itu yang terjadi sekarang, perang harga minyak, seperti Arab Saudi yang memilih banting harga untuk tetap mempertahankan sumber penerimaan negaranya juga,” ujar Abra.
Abra melanjutkan proyeksi penurunan harga minyak ini harus segera diantisipasi oleh pemerintah sebelum terlambat dan berdampak pada terpukulnya penerimaan negara hingga melebarnya defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). “Penerimaan di sini terkait dengan penerimaan pajak maupun penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sektor migas.”
Seperti diketahui, pada APBN 2020, pemerintah mematok asumsi harga minyak mentah Indonesia (ICP) sebesar US$ 63 per barel. Berdasarkan simulasi sensitivitas APBN 2020 terhadap perubahan harga ICP ke kondisi saat ini yang menyentuh kisaran US$ 30 per barel, terdapat potensi kehilangan penerimaan negara sebesar Rp 85-130 triliun. “Pemerintah harus segera bersiap untuk melakukan APBN Perubahan, terutama dari sisi harga minyak dan target lifting migas, karena sudah semakin tidak relevan,” ujar Abra.
<!--more-->
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menuturkan fluktuasi tajam harga minyak dunia ini menjadi perhatian serius pemerintah untuk terus dicermati perkembangannya. Namun, menurut Sri pelemahan harga minyak di satu sisi juga memiliki dampak positif. “Impor minyak kita kan cukup besar, berarti dengan penurunan harga akan jadi salah satu yang membuat beban Pertamina turun, dan ini akan terlihat juga dalam neraca pemerintah,” katanya.
Sri Mulyani pun masih enggan berspekulasi lebih jauh tentang potensi penurunan penerimaan negara akibat anjloknya harga minyak. “Kami lihat nanti pengaruhnya terhadap APBN setahun ini, sekaligus untuk proyeksi di 2021,” ucapnya. Dia menambahkan, banyak hal yang harus diformulasikan ke dalam perhitungan APBN secara keseluruhan, salah satunya adalah stimulus ekonomi yang disiapkan pemerintah.
Meski demikian, Sri mencoba realistis terhadap dampak merosotnya harga minyak dan pelemahan perekonomian domestik ini terhadap defisit APBN 2020. “Saat ini kami mengindikasikan defisitnya berada dalam kisaran 2,2 hingga 2,5 persen,” kata dia. Adapun, saat ini defisit APBN 2020 dipatok sebesar 1,76 persen dari produk domestik bruto (PDB). “Sumber penerimaan pajak nanti kita lihat, dinamika indikator lain seperti produksi minyak dan nilai tukar juga bergerak.”
HENDARTYO HANGGI