Waspada Utang, Indef: BUMN Harus Berani Tolak Bisnis yang Jelek
Reporter
Yohanes Paskalis
Editor
Ali Akhmad Noor Hidayat
Senin, 24 Februari 2020 10:52 WIB
TEMPO.CO, JAKARTA - Peluang proyek infrastruktur baru hingga empat tahun ke depan bak pedang bermata dua untuk sejumlah badan usaha milik negara (BUMN) bidang konstruksi yang tengah menanggung beban utang. Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Abra Talattov, mengatakan perusahaan karya harus lebih jeli memilih proyek agar risiko keuangan tak bertambah.
"Cari proyek yang pengembalian investasinya bagus, dan harus berani menolak yang potensi bisnisnya jelek," ujarnya seperti yang dikutip Koran Tempo edisi Senin 24 Februari 2020.
Menurut dia, BUMN konstruksi ternama seperti PT Waskita Karya (persero) Tbk, PT Wijaya Karya (persero) Tbk, PT Adhi Karya (persero) Tbk, dan beberapa entitas lainnya sulit menjaga kesehatan kas karena kerap ditugasi pengerjaan berbagai proyek strategis nasional (PSN). Sebagian besarnya pun berskema turnkey atau dibayar ketika rampung, sehingga kontraktor harus mencari pinjaman untuk kebutuhan konstruksi.
Contoh penugasan berat BUMN yang diungkapkan Abra adalah penyelesaian ruas-ruas Tol Trans Jawa yang sudah terhubung hingga 1.167 kilometer di periode pertama kepemimpinan Presiden Joko Widodo. Ada pula pengerjaan sejumlah proyek kereta nasional, seperti light rail transit (LRT) dan mass rapid transit (MRT).
"Kadang return investment tak sesuai target saat tahap operasi, misalnya LRT Palembang," kata dia. Pada sembilan bulan pertama pemakaiannya, okupansi penumpang LRT Palembang hanya berkisar 3.000-8.000 orang per hari jauh dari target awal 30.000 orang per hari.
Efek beban proyek, dia melanjutkan terlihat pada rasio utang terhadap ekuitas (debt to equity ratio/DER) beberapa BUMN konstruksi yang berada di batas rawan, di level 2-3 kali. Tumpukan utang pun terlihat pada laporan keuangan kuartal ketiga 2019 sejumlah perseroan, seperti liabilitas Waskita Karya yang mencapai Rp 108 triliun, serta liabilitas Wijaya Karya sebesar Rp 42,7 triliun. "Kalau tak diantisipasi, BUMN bakal kesulitan dapat pembiayaan baru karena kreditur semakin ragu."
<!--more-->
Kepala Riset Praus Capital, Alfred Nainggolan, pun mendesak pemerintah menebalkan pendanaan untuk proyek penugasan, melalui penyertaan modal negara (PMN). Pada 2016-2017, kata dia, BUMN kerap kesulitan mendapat PMN karena rumitnya administrasi.
"Kalau memang ada tugas besar, beri modal besar juga dong untuk perseroan," ujarnya. "Ini tugas pemerintah sebagai pemegang saham majority dan penyedia proyek."
Direktur Eksekutif Gabungan Pelaksana Konstruksi Nasional Indonesia (Gapensi) DKI Jakarta, Setu Albertus, terus menuntut kesetaraan porsi proyek untuk swasta dan BUMN. Lebih dari 80 persen proyek dalam negeri selama 2016-2018 diambil oleh BUMN konstruksi, belum termasuk yang dilahap entitas anak usahanya. Padahal, kata dia, terdapat sekitar 150 ribu perusahaan swasta yang mumpuni menggarap proyek pemerintah.
"Swasta harus dapat bagian juga di periode kedua Presiden Jokowi, jangan semua didominasi BUMN lagi," ujarnya.
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat pun bakal mengobral lebih proyek hingga 2024. Porsi anggaran infrastruktur dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun ini pun tercatat menembus Rp 419 triliun. Sebanyak Rp 120 triliun dari jumlah itu untuk pengerjaan proyek Kementerian PUPR.
GHOIDA RAHMAH | YOHANES PASKALIS