Kisruh TVRI, Tunjangan Kinerja dan Kerja Sama Strategis Terganjal
Reporter
Caesar Akbar
Editor
Rahma Tri
Selasa, 28 Januari 2020 10:25 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Program dan Berita TVRI Apni Jaya Putra menyebut, setidaknya ada tiga persoalan yang timbul setelah pemecatan Helmy Yahya dari jabatan direktur utama.
Salah satu dampak yang timbul dari sengkarut tersebut, tutur Apni, berkaitan dengan tunjangan kinerja karyawan TVRI. "Rapel tunjangan kinerja sekitar 4.800 karyawan TVRI di seluruh Indonesia yang sedianya sudah bisa dibayarkan dalam bulan Februari ini, akan tertunda," ujar Apni dalam rapat bersama Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat, Senin, 27 Januari 2020.
Apni belum bisa memperkirakan pembayaran rapel tunjangan kinerja itu bakal tertunda sampai kapan pasca-pemecatan Helmy Yahya. Sebab, semua proses permohonan Anggaran Biaya Tambahan untuk rapel tunjangan kinerja senilai Rp 205 miliar perlu surat dan tanda tangan dari Direktur Utama Definitif.
Sengkarut pemberhentian Helmy Yahya memang hingga kini tak kunjung usai. Kursi panas orang nomor satu di lembaga penyiaran pelat merah tersebut kini masih dijabat Pelaksana Tugas. Kosongnya pejabat definitif di bangku direktur utama juga menimbukan masalah lain di struktur organisasi. Menurut Apni, saat ini banyak jabatan struktural yang kosong dan belum bisa diisi pejabat anyar. Sebab, pengangkatan pejabat itu memerlukan tandatangan direktur utama definitif.
Kisruh direktur utama TVRI ini juga diperkirakan tak hanya berdampak di internal perusahaan, melainkan juga hubungannya dengan pihak eksternal. "Ini dapat mengurangi kepercayaan mitra dan pihak ketiga yang sudah terjaga kembali dalam dua tahun terakhir," tutur Apni. Ia mengatakan beberapa nota kesepahaman, kontrak, dan kerjasama strategis terpaksa ditunda atau ditinjau ulang.
<!--more-->
Sebelumnya, Anggota Dewan Pengawas TVRI Pamungkas Trishadiatmoko memaparkan salah satu alasan pemecatan Helmy Yahya adalah terkait dengan kontrak tayangan sepak bola Liga Inggris oleh perusahaan televisi pelat merah itu. "Saya akan sampaikan kenapa Liga Inggris itu menjadi salah satu pemicu gagal bayar ataupun munculnya hutang skala kecil seperti Jiwasraya," ujar dia dalam rapat di Kompleks Parlemen, Selasa, 21 Januari 2020.
Pamungkas menceritakan bahwa Dewan Pengawas mendapatkan informasi adanya tagihan dari GMV alias Global Media Visual untuk Liga Inggris Rp 27 miliar pada 31 Oktober dan jatuh tempo pada 15 November 2019. Hingga 31 Desember 2019, tutur dia, tagihan itu belum terbayarkan.
Pembayaran Liga Inggris, menurut Pamungkas, memang tidak ada dalam Rencana Kerja dan Anggaran Tahunan 2019 yang telah disahkan. Dengan demikian tagihan itu menjadi hutang pada tahun 2020. Padahal, pada tahun ini pun, pembayaran tersebut tidak ada dalam RKAT.
Karena itu, Pamungkas mengatakan tagihan pembayaran Liga Inggris kepada perseroan bisa semakin menumpuk. Total, tagihan itu adalah sekitar Rp 69 miliar belum termasuk pajak. Rinciannya, angka tersebut terdiri dari Rp 27 miliar tagihan 2019, Rp 21 miliar tagihan pada Maret 2020, serta Rp 21 miliar pada September 2020, dengan masing-masing di luar biaya pajak.
Selain itu, Dewan Pengawas TVRI pun mempermasalahkan Liga Inggris lantaran pada mulanya disebut gratis. Namun ternyata pada akhirnya berbiaya total sekitar Rp 126 miliar di luar pajak dan biaya lainnya untuk kontrak tiga musim alias 2019-2022. Setiap musim, perseroan mesti menggelontorkan sekitar lebih dari Rp 552 per pertandingan untuk setiap musim.