Omnibus Law, Mahfud MD: Perizinan Normatif Harus Dipersingkat
Reporter
Yohanes Paskalis
Editor
Ali Akhmad Noor Hidayat
Kamis, 23 Januari 2020 04:28 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah memastikan penentuan izin kegiatan usaha yang didasari risiko (risk based approach) dalam regulasi sapu jagat alias Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja selalu disertai pengawasan ketat. Skema itu tercantum dalam kluster penyederhanaan perizinan berusaha itu mengganti skema usaha yang sebelum mutlak berbasis izin (license approach).
Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Benny Riyanto, mengatakan pemerintah masih akan merundingkan sektor yang masuk dalam usaha berisiko tinggi. "Akan ditetapkan dalam peraturan pelaksana. Sudah ada konsepnya tapi kan harus disepakati lintas kementerian," ucap Benny di kompleks Hotel Shangri-La, Jakarta Pusat, Rabu 22 Januari 2020.
Dalam Omnibus Law, pemerintah tetap menuntut perizinan dari kegiatan berisiko tinggi, khususnya yang berdampak pada kesehatan, keselamatan, lingkungan, termasuk usaha pengelolaan sumber daya alam. Risiko level menengah diwajibkan mengikuti standarisasi regulator, sementara risiko rendah hanya melalui pendaftaran.
Sejauh ini, menurut Benny, baru sektor Usaha Mikro Menengah (UMK) yang karakternya masuk daftar risiko rendah. Klasifikasi sektor lainnya harus dibahas agar dapat dipertanggungjawabkan. "Nanti dituangkan dalam norma. Kementerian Tenaga Kerja juga pasti memberi input soal risiko itu," ucapnya.
Rancangan Undang Undang Cipta Lapangan Kerja itu ditetapkan masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020 oleh Dewan Perwakilan Rakyat, kemarin. Ada pula dua Omnibus Law lain, yakni RUU tentang Perpajakan serta tentang Ibu Kota Negara, yang pembahasannya bakal diprioritaskan oleh Parlemen.
Dikoordinir Kementerian Koordinator Perekonomian serta Kementerian Hukum dan HAM, Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja menyederhanakan 84 Undang Undang, berisi lebih dari 1.240 pasal ke dalam 11 kluster. Hingga 17 Januari lalu, kluster penyederhanaan perizinan tercatat meliputi 52 UU dengan 770 pasal.
"Ini simplifikasi besar, jenis sanksinya pun banyak bergeser dari jenis pidana menjadi administrasi alias denda," kata Benny. "Ini mengurangi ketakutan berinvestasi."
Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD, mengatakan perizinan normatif harus dipersingkat agar tak menghalangi target pembangunan. Analisis Dampak Lingkungan (Amdal), menurut dia, menjadi salah satu izin yang rumit diurus. "Ada investor menunggu Amdal sampai dua tahun, uangnya keburu habis saat Amdal keluar. Investasi jadi gagal," kata dia.
<!--more-->
Dia tak menampik bahwa pemangkasan proses, termasuk perihal Amdal, berpotensi mempengaruhi kualitas izin itu sendiri. "Bisa iya bisa tidak. Yang penting pemerintah memberi syarat dan jika nanti tak sesuai, ya tinggal tutup."
Melalui keterangan tertulis, Sekretaris Kementerian Koordinator Perekonomian, Susiwijono Moegiarso, mengatakan negara menargetkan pertumbuhan ekonomi hingga 6 persen per tahun agar dapat menampung dua juta pekerja baru. Diperlukan investasi jumbo sebesar Rp 4.800 triliun dari kas negara, swasta melalui investasi, maupun badan usaha pelat merah.
"Perizinan rumit harus dibuat berbasis risiko, harus ada kepastian dan standar dalam proses dan biaya perizinan," katanya.
Direktur Eksekutif Trend Asia, Yuyun Indradi, menolak jika izin krusial seperti Amdal nantinya digantikan oleh pendekatan berbasis risiko. Dia beralasan hal itu tak mengurangi tingkat kerusakan lingkungan. "Penilaian risiko juga rentan direkayasa dan dimanipulasi," ucapnya. "Investasi dianggap harus jalan dan mengabaikan kepentingan sosial lingkungan."
Adapun Anggota Ombudsman Republik Indonesia, Laode Ida, mengatakan sektor yang paling berdampak ke lingkungan, seperti tambang dan pengelolaan energi, hanya bisa dikawal dengan perizinan. "Jangan sampai melemah hanya karena risikonya dinilai tidak tinggi."
CAESAR AKBAR | EKO WAHYUDI | YOHANES PASKALIS PAE DALE