Bank Indonesia: Perang Dagang Mereda dan Semakin Kondusif
Reporter
Larissa Huda
Editor
Ali Akhmad Noor Hidayat
Senin, 20 Januari 2020 06:30 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Defisit neraca perdagangan tahun lalu lebih rendah ketimbang tahun 2018. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat defisit neraca perdagangan sepanjang 2019 sebesar US$ 3,19 miliar, turun dari periode yang sama 2018 sebesar US$ 8,69 miliar. Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Dody Budi Waluyo optimistis dengan capaian tersebut membawa indikator positif terhadap neraca perdagangan tahun ini.
"Neraca perdagangan tahun ini diperkirakan lebih baik dibandingkan tahun lalu. Ekonomi global yang diperkirakan lebih baik akan mendorong permintaan produk ekspor Indonesia," ujar Dody kepada Tempo, Ahad 19 Januari 2020.
Dody menuturkan selama ini faktor utama yang menjadi risiko terhadap kinerja ekspor adalah adanya gejolak geopolitk dan perang dagang antara Amerika Serikat dan Cina. Namun, ujar Dody, angin segar mulai terasa pasca adanya kesepakatan tahap pertama antara AS dan Cina. "Dalam perkembangan terkini, kedua risiko ini cenderung mereda dan bergerak kondusif," tutur Dody.
Tak hanya ekspor, Dody optimistis kinerja neraca perdagangan juga akan didorong oleh pengendalian impor minyak dan gas yang diklaim lebih terkendali pada tahun ini. Dody menuturkan salah satu langkah yang sedang dilakukan pemerintah adalah biodiesel 20 persen atau B20. "Langkah omnibus law diharapkan dapat mendorong investasi sehingga berdampak pada peningkatan daya saing," ujar Dody.
Nada optimistis juga disampaikan oleh Deputi Ekonomi Makro dan Keuangan Kementerian Koordinator Perekonomian Iskandar Simorangkir. Iskandar menyakini kebijakan yang dikeluarkan pemerintah dalam rangka menekan defisit transaksi berjalan atau current account deficit (CAD) mulai terlihat, salah satunya pengembangan B30.
"Perbaikan neraca perdagangan tahun ini diperkirakan membaik dan sedikit surplus," tutur Iskandar kepada Tempo.
Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono Moegiarso mengatakan pemerintah juga telah menyusun program percepatan (quick wins) untuk memperkuat kinerja perdagangan. Susiwijono menyebutkan pemerintah akan meningkatkan kinerja ekspor, misalnya saja dengan menggenjot pengembangan hortikultura berbasis ekspor dan percepatan penyelesaian perundingan internasional.
"Neraca perdagangan tahun ini diperkirakan lebih baik dibandingkan tahun lalu. Ekonomi global yang diperkirakan lebih baik akan mendorong permintaan produk ekspor Indonesia," ujar Dody kepada Tempo, Ahad 19 Januari 2020.
Dody menuturkan selama ini faktor utama yang menjadi risiko terhadap kinerja ekspor adalah adanya gejolak geopolitk dan perang dagang antara Amerika Serikat dan Cina. Namun, ujar Dody, angin segar mulai terasa pasca adanya kesepakatan tahap pertama antara AS dan Cina. "Dalam perkembangan terkini, kedua risiko ini cenderung mereda dan bergerak kondusif," tutur Dody.
Tak hanya ekspor, Dody optimistis kinerja neraca perdagangan juga akan didorong oleh pengendalian impor minyak dan gas yang diklaim lebih terkendali pada tahun ini. Dody menuturkan salah satu langkah yang sedang dilakukan pemerintah adalah biodiesel 20 persen atau B20. "Langkah omnibus law diharapkan dapat mendorong investasi sehingga berdampak pada peningkatan daya saing," ujar Dody.
Nada optimistis juga disampaikan oleh Deputi Ekonomi Makro dan Keuangan Kementerian Koordinator Perekonomian Iskandar Simorangkir. Iskandar menyakini kebijakan yang dikeluarkan pemerintah dalam rangka menekan defisit transaksi berjalan atau current account deficit (CAD) mulai terlihat, salah satunya pengembangan B30.
"Perbaikan neraca perdagangan tahun ini diperkirakan membaik dan sedikit surplus," tutur Iskandar kepada Tempo.
Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono Moegiarso mengatakan pemerintah juga telah menyusun program percepatan (quick wins) untuk memperkuat kinerja perdagangan. Susiwijono menyebutkan pemerintah akan meningkatkan kinerja ekspor, misalnya saja dengan menggenjot pengembangan hortikultura berbasis ekspor dan percepatan penyelesaian perundingan internasional.
<!--more-->
Tak hanya itu, pemerintah juga berupaya mengurangi ketergantungan impor lewat beberapa strategi. Susiwijono mengatakan pengembangan usaha dan riset energi hijau serta katalis diharapkan juga mampu mengurangi ketergantungan impor. Menurut dia, Pertamina saat ini sedang mengembangkan greenfuel yang berbasis minyak sawit di beberapa kilang pertamina terutama di Pulau Plaju, Sumatera Selatan.
"Pengembangan greenfuel ini masih dalam tahap penelitian dan percobaan untuk menggantikan BBM (bahan bakar minyak) berbasis fosil melalui mekanisme co-processing dan stand alone," tutur Suwijono.
Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Widjaja Kamdani berharap penurunan tensi perang dagang bisa meningkatkan pertumbuhan permintaan perdagangan dunia yang pertumbuhannya hanya sekitar 1 persen tahun lalu. Namun, Shinta mengatakanbiaya produksi dan rantai pasok yang terlalu tinggi masih jadi penghambat ekspor. Hal ini, kata dia, membuat produk Indonesia tidak bisa bersaing dengan kompetitor.
"Biaya produksi akibat berbagai regulasi internal membuat perluasan skala produksi yang bisa menciptakan ekspor yang lebih besar menjadi mahal dan lebih lama," tutur Shinta.
Selain itu, Shinta mengatakan juga pemerintah perlu menggenjot divesifikasi ekspor. Pasalnya, kata dia, semakin sedikit ragam produk ekspor nasional, semakin sedikit pula pasar internasional yang bisa dimanfaatkan. Akibatnya, ketergantungan impor akan semakin tinggi. "Bila keseluruhan hal ini diperbaiki, maka pertumbuhan ekspor nasional 2020-2021 akan jauh lebih baik, bahkan bisa melebihi kinerja ekspor 2018," tutur Shinta.
Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Piter Abdullah mengatakan neraca perdagangan Indonesia umumnya surplus ketika harga komoditas normal. Tahun ini, ujar Piter, beberapa komoditas mengalami perbaikan harga khususnya minyak sawit mentah, karet, dan nikel. Dengan adanya perbaikan harga komoditas, Piter mengatakan neraca perdagangan tahun ini akan membaik. "Tetapi saya perkirakan perbaikannya belum cukup untuk mengembalikannya menjadi surplus," tutur Piter.
Tak hanya itu, pemerintah juga berupaya mengurangi ketergantungan impor lewat beberapa strategi. Susiwijono mengatakan pengembangan usaha dan riset energi hijau serta katalis diharapkan juga mampu mengurangi ketergantungan impor. Menurut dia, Pertamina saat ini sedang mengembangkan greenfuel yang berbasis minyak sawit di beberapa kilang pertamina terutama di Pulau Plaju, Sumatera Selatan.
"Pengembangan greenfuel ini masih dalam tahap penelitian dan percobaan untuk menggantikan BBM (bahan bakar minyak) berbasis fosil melalui mekanisme co-processing dan stand alone," tutur Suwijono.
Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Widjaja Kamdani berharap penurunan tensi perang dagang bisa meningkatkan pertumbuhan permintaan perdagangan dunia yang pertumbuhannya hanya sekitar 1 persen tahun lalu. Namun, Shinta mengatakanbiaya produksi dan rantai pasok yang terlalu tinggi masih jadi penghambat ekspor. Hal ini, kata dia, membuat produk Indonesia tidak bisa bersaing dengan kompetitor.
"Biaya produksi akibat berbagai regulasi internal membuat perluasan skala produksi yang bisa menciptakan ekspor yang lebih besar menjadi mahal dan lebih lama," tutur Shinta.
Selain itu, Shinta mengatakan juga pemerintah perlu menggenjot divesifikasi ekspor. Pasalnya, kata dia, semakin sedikit ragam produk ekspor nasional, semakin sedikit pula pasar internasional yang bisa dimanfaatkan. Akibatnya, ketergantungan impor akan semakin tinggi. "Bila keseluruhan hal ini diperbaiki, maka pertumbuhan ekspor nasional 2020-2021 akan jauh lebih baik, bahkan bisa melebihi kinerja ekspor 2018," tutur Shinta.
Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Piter Abdullah mengatakan neraca perdagangan Indonesia umumnya surplus ketika harga komoditas normal. Tahun ini, ujar Piter, beberapa komoditas mengalami perbaikan harga khususnya minyak sawit mentah, karet, dan nikel. Dengan adanya perbaikan harga komoditas, Piter mengatakan neraca perdagangan tahun ini akan membaik. "Tetapi saya perkirakan perbaikannya belum cukup untuk mengembalikannya menjadi surplus," tutur Piter.
<!--more-->
Menurut dia, pemerintah harus melakukan transformasi struktural dengan membangun industri manufaktur sehingga bisa mengurangi ketergantungan impor, khususnya impor bahan baku. Selain itu, pemerintah juga harus membangun ketahanan pangan dengan mendorong produksi pangan dalam negeri.
Menurut dia, pemerintah harus melakukan transformasi struktural dengan membangun industri manufaktur sehingga bisa mengurangi ketergantungan impor, khususnya impor bahan baku. Selain itu, pemerintah juga harus membangun ketahanan pangan dengan mendorong produksi pangan dalam negeri.