Soal Natuna, Ekonom Sarankan RI Tak Balas Cina dengan Aksi Dagang
Reporter
Caesar Akbar
Editor
Rahma Tri
Minggu, 5 Januari 2020 14:59 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Ekonom dari Universitas Indonesia Fithra Faisal menyarankan pemerintah untuk tidak melakukan retaliasi (aksi pembalasan) di bidang perdagangan, atas klaim Cina terhadap perairan Natuna. "Retaliasi dampaknya akan jauh lebih buruk dan cenderung memperkeruh keadaan," ujar dia kepada Tempo, Ahad, 5 Januari 2020.
Fithra mengatakan, Cina adalah salah satu mitra dagang utama Indonesia, terutama sebagai destinasi ekspor. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, nilai ekspor Indonesia ke Cina pada November 2019 mencapai US$ 2,41 miliar.
"Cina selalu menempati dua besar negara tujuan ekspor kita ke luar negeri. Karena itu, tidak tepat melakukan retaliasi perdagangan," tutur Fithra. Di samping itu, ia khawatir Cina justru akan membalas Indonesia lebih dalam lagi di sektor ekonomi bila retaliasi itu dilakukan.
Secara umum, Fithra melihat posisi dagang Indonesia terhadap Cina memang masih defisit, mengingat impor dari Negeri Tirai Bambu masih cukup besar, yaitu sekitar US$ 15,34 miliar pada November 2019. Namun, impor tersebut juga mengandung barang-barang yang dibutuhkan industri. "Jadi dalam konteks ini retaliasi akan memperparah keadaan."
Belum lagi kalau berbicara soal peningkatan investasi asal Cina yang belakangan terjadi, meski belum sebesar Jepang dan Singapura. Karena itu, Fithra menyarankan isu di perbatasan itu dikarantina menjadi isu politik saja dan tidak melebar ke ekonomi.
<!--more-->
Sebelumnya, Pemerintah diminta tegas menekan Cina yang masih ngotot mengklaim Laut Natuna di Kepulauan Riau. Apabila Cina masih mengabaikan nota protes atas Laut Natuna, pemerintah Indonesia didesak untuk melakukan aksi diplomatik yang lebih keras, bahkan di bidang ekonomi.
Anggota Komisi I DPR Bobby Adhityo Rizaldi mengatakan, tekanan bisa dilakukan dengan mengevaluasi perjanjian-perjanjian bilateral termasuk menolak latihan militer bersama dan pengetatan atau pengurangan volume impor produk Cina yang selama ini cukup tinggi. "Indonesia tidak perlu takut, karena investasi mereka pun masih jauh dari yang dijanjikan," ujarnya kepada Bisnis pada Kamis 2 Januari 2020.
Badan Keamanan Laut atau Bakamla sebelumnya menjelaskan adanya pelanggaran atas zona ekonomi eksklusif atau ZEE Indonesia, di perairan utara Natuna, pada Desember 2019. Bakamla menyebut kejadian ini bermula saat kapal penjaga pantai (coast guard) pemerintah Cina, muncul di perbatasan perairan.
"Pada 10 Desember, kami menghadang dan mengusir kapal itu. Terus tanggal 23 kapal itu masuk kembali, kapal coast guard dan beberapa kapal ikan dari Cina waktu itu," kata Direktur Operasi Laut Bakamla Nursyawal Embun.
Pasca laporan Bakamla, pemerintah Indonesia telah melayangkan nota protes keras terhadap pemerintah Cina atas pelanggaran ini. Direktur Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional (HPI) Kementerian Luar Negeri Damos Dumoli Agusman menyebutkan nota protes yang disampaikan Indonesia terkait pelanggaran Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) oleh penjaga pantai Cina di perairan Natuna menunjukkan bahwa Indonesia menolak klaim negara tersebut.
CAESAR AKBAR | BISNIS