Merugikan, Buruh Tolak Rancangan Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja
Reporter
Ahmad Fikri (Kontributor)
Editor
Dewi Rina Cahyani
Sabtu, 28 Desember 2019 14:23 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Umum Pimpinan Pusat Federasi Serikat Pekerja Tekstil, Sandang dan Kulit Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (PP FSP TSK SPSI), Roy Jinto mengatakan, organisasinya menolak rancangan Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja yang tengah disiapkan pemerintah. “Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja yang sedang digaungkan pemerintah khususnya klaster ketenagakerjaan merupakan kedok pemerintah untuk merevisi Undang-Undang Ketenagakerjaan,” kata dia, Sabtu, 28 Desember 2019.
Roy mengatakan, tidak hanya Undang-Undang Ketenagakerjaan, juga menyentuh Undang-Undang Pengadilan Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, dan Undang-Undang Serikat Pekerja/Serikat Buruh. “Bisa dilihat dari semangat Omnibus Law lapangan kerja memberikan karpet merah terhadap pengusaha atau investor,” kata dia.
Omnibus Law dikhawatirkan akan merugikan buruh. Dia beralasan, Satgas Omnibus Law yang dibentuk pemerintah, berdasarkan Keputusan Menteri Koordiator Perekonomian Nomor 378/2019 mayoritas dipimpin Ketua Kadin dan mayoritas berisi pengusaha. “Tidak ada satu pun dari unsur serikat pekerja/serikat buruh, RUU Omnibus Cipta Lapangan Kerja dalam klaster ketenagakerjaan,” kata Roy.
Roy mengatakan, sedikitnya RUU Omnibus Law akan merevisi 51 pasal dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan. Diantaranya, soal pemutusan hubungan kerja, pengurangan pesangon, pekerja kontrak untuk semua jenis pekerjaan, jam kerja, rekrutmen tenaga asing, pasal pidana sengketa ketenagakerjaan, hingga sistem pengupahan dengan menghapus Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) dan upah sektoral (UMSK).
“Prinsip upah minimum adalah sebagai safety-net yang merupakan tanggung jawab pemerintah, maka apabila pemerintah memberlakukan sistem upah per jam, dengan demikian pemerintah melepaskan tanggung-jawabnya dengan menyerahkan upah pada mekanisme pasar,” kata Roy.
Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja klaster dikhawatirkan memperlemah daya tawar buruh. Revisi soal pengupahan juga dikhawatirkan akan memiskinkan buruh dengan turunnya daya beli. “Dengan Omnibus Law lapangan kerja, pengusaha akan gampang melakukan PHK pekerja, mempekerjakan buruh sesuai jam yang di inginkan pengusaha, merekrut tenaga kerja asing dengan mudah yang akhirnya pengangguran bertambah,” kata Roy.
Roy mengatakan, sejumlah alasan itu yang membuat organisasinya menolak Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja. “PP SP TSK SPSI jelas menolak Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja,” kata dia.
Sebelumnya, Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah sempat menjelaskan soal draft Omnibus Law klaster ketenagakerjaan. Salah satunya soal upah per jam. Ketentuan upah per jam akan berlaku bagi pekerja dengan jam kerja 35 jam per minggu, tapi tidak untuk pekerja dengan jam kerja di atas 40 jam per minggu.
“Jam kerja kita kan 40 jam seminggu. Di bawah 35 jam per minggu itu maka ada fleksibilitas itu. Nanti di bawah itu, hitungannya per jam. Saya mau sampaikan terkait dengan ini kita sounding pengusaha dan serikat pekerja mereka memahami. Nanti pengaturannya akan kita atur,” kata Ida di Istana Bogor, Jumat, 27 Desember 2019.
Ida mengungkapkan ketentuan itu akan dimuat dalam klaster ketenagakerjaan dalam draf Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja. Adapun, beberapa pokok bahasan ketenagakerjaan dalam regulasi tersebut antara lain masalah upah minimum dan pesangon karyawan.