Said Didu: Pertamina Dilarang Impor Migas, Rakyat Mati
Reporter
Francisca Christy Rosana
Editor
Rr. Ariyani Yakti Widyastuti
Kamis, 19 Desember 2019 19:55 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Mantan Sekretaris Menteri Badan Usaha Milik Negara atau BUMN, Said Didu, tak sepenuhnya sepakat dengan rencana pemerintah yang akan menyetop impor minyak dan gas (migas) PT Pertamina (Persero). Menurut dia, kebijakan itu akan merugikan masyarakat.
"Jangan teriak setop impor. Enggak bisa. Sama dengan gagal panen, tapi dilarang impor beras. Ya rakyat mati, dong," kata Said saat ditemui seusai menjadi pembicara dalam diskusi bertajuk 'Pertamina Sumber Kekacauan' di Restoran Pulau Dua, Jakarta, Kamis, 19 Desember 2019.
Rencana setop impor migas menguat setelah Badan Pusat Statistik atau BPS merilis posisi neraca perdagangan sepanjang November 2019. BPS menyebut neraca dagang berada pada posisi defisit US$ 1,33 miliar. Kondisi ini terjadi lantaran adanya defisit di sektor minyak dan gas (migas) sebesar US$ 1,01 miliar dan non migas US$ 300,9 juta.
Bahkan Presiden Jokowi mengaku jengkel dengan orang-orang yang hobi impor minyak dan gas. Sebab, impor minyak dan gas membuat defisit transaksi berjalan dan defisit neraca perdagangan.
"Dikit-dikit impor, dikit-dikit impor. Terutama yang berkaitan dengan energi, barang modal, dan bahan baku," kata Jokowi saat membuka Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional (Musrenbangnas) Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 di Istana Negara, Jakarta, Senin, 16 Desember 2019.
Jokowi mengatakan, barang modal dan bahan baku tak masalah jika impor, karena bisa dire-ekspor. Namun, ia geram dengan impor di sektor energi. Jokowi menyebutkan bahwa impor minyak saat ini mencapai 700-800 ribu barel per hari.
"Kurang lebih ya. Per hari. Jangan mikir per tahun. Baik itu minyak maupun gas. Juga ada turunan petrokimia. Sehingga membebani, menyebabkan defisit. Itu bertahun-tahun enggak diselesaikan," kata Jokowi.
<!--more-->
Lebih jauh Said mengatakan defisit neraca perdagangan karena kesenjangan ekspor dan impor migas terjadi lantaran adanya kegagalan membangun kilang dan diversifikasi energi. Jadi, menurut dia, bukan lantaran negara gencar mengimpor.
Sementara itu, ia meyakini aksi impor wajar terjadi lantaran negara tak punya pasokan BBM yang cukup. Sebenarnya, Said mengimbuhkan, pemerintah sudah lama menggenjot produksi kilang minyak.
Salah satu caranya ialah mengembangkan kilang dengan menggandeng investor asing, seperti Saudi Arabian Oil Co atau Saudi Aramco. "Sewaktu Sudirman Said pimpin Kementerian ESDM, dia diutus menindaklanjuti pembicaraan presiden Jokowi dan Raja Salman di Jakarta yang sepakat dengan Aramco. Lalu disepakati dan ditindaklanjuti," ucapnya.
Namun, kelanjutan kerja sama itu tak jua mencapai kesepakatan karena pemerintah berbelot. Said menduga pemerintah berpaling melirik Rusia sehingga Saudi Aramco kemudian menanamkan investasinya di Malaysia.
"Ini adalah konsistensi. Jangan menjanji-janjikan orang. Pak Sudirman Said di Timur Tengah masih berunding, tapi disuruh pulang dan diganti Rusia. Kesalahan pengambil kebijakan berdampak ke berikutnya, kebetulan orangnya sama," ucap Said.
Aramco dan Pertamina sebelumnya bersepakat menjajaki usaha patungan pada 2014 menggarap kilang Cilacap. Sebelum melanjutkan kerja sama lebih jauh, keduanya lebih dulu menghitung valuasi aset. Namun, bertahun-tahun, perhitungan itu tidak kunjung menemui kesepakatan.
Hingga 2019, keduanya masih berkukuh menggunakan penghitungan valuasinya masing-masing. Rencana perusahaan patungan Pertamina dan Aramco untuk menggarap kilang minyak itu pun tak kunjung menemui kepastian.
FRISKI RIANA