Kemenperin Sebut Suku Bunga Tinggi Pemicu Deindustrialisasi
Reporter
Caesar Akbar
Editor
Rahma Tri
Kamis, 31 Oktober 2019 07:53 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Jenderal Industri Kimia, Farmasi, dan Tekstil Muhammad Khayam menyebut pembiayaan industri sebagai biang pemicu deindustrialisasi di Tanah Air. Ia menyebut bunga pinjaman di dalam negeri yang cenderung tinggi bila dibandingkan di negara lain membuat industri nasional sulit bersaing.
"Maksudnya, misalnya kita mau bangun pabrik, bunganya itu 8 persen. Di negara lain padahal bisa 2 persen. Akibatnya, industri kita tidak berdaya saing," ujar Khayam di Hotel Aryaduta, Jakarta, Rabu, 30 Oktober 2019.
Karena itu, ia menilai pemerintah perlu mencarikan pembiayaan industri. Hal tersebut juga adalah nilai turunan dari Undang-undang Perindustrian.
Dulu, Khayam mengenang, pembiayaan industri dilayani khusus oleh Bank Pembangunan Indonesia. Namun, semenjak bank tersebut dimerger menjadi Bank Mandiri pada Juli 1999, tak ada lagi perusahaan perbankan yang khusus membiayai industri. "Sekarang bank komersial biasa, meski bank pemerintah, dia kan orientasinya kepada retail, " kata Khayam.
Ia menyatakan tak menyalahkan kondisi tersebut. Hanya saja, menurutnya, perlu ada bank khusus industri untuk mendukung perkembangan tersebut.
Menurut Khayam, bisa saja pembiayaan industri dilakukan menggunakan Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia, maupun lembaga pembiayaan lainnya. Namun, ia mengingatkan kembali soal bunga. Dengan demikian ia meyakini industri di dalam negeri dapat meningkatkan daya saingnya.
Persoalan deindustrialisasi sebelumnya sempat dibahas oleh beberapa ekonom Tanah Air, salah satunya Didik Rachbini. Ekonom yang juga Ketua Lembaga Pengkajian, Penelitian dan Pengembangan Ekonomi, Kamar Dagang dan Industri Indonesia atau LP3E KADIN itu menyebutkan saat ini, sektor industri hanya tumbuh sekitar 3 persen dan tak mampu mendongkrak ekonomi agar tumbuh lebih tinggi.
<!--more-->
“Harusnya industri bisa tumbuh lebih lagi,” kata Didik dalam diskusi di ITS Tower, Jakarta Selatan, Ahad, 25 Agustus 2019. Dalam beberapa waktu terakhir ini, pemerintah menyebut ekonomi Indonesia melemah karena terpengaruh dampak perang dagang antara Amerika Serikat dan Cina.
Namun jauh sebelum itu, kata Didik, ekonomi Indonesia sebenarnya juga sempat mengalami pelemahan di tahun 1982, di masa pemerintahan Presiden Soeharto. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) mencatat, saat itu ekonomi global tumbuh minus 2 persen. Sementara, harga minyak tengah jatuh ke level US$ 5 per barel.
Akibatnya, ekonomi Indonesia hanya tumbuh 2,2 persen. Situasi ini tak lepas dari struktur APBN Indonesia kala itu yang 90 persen bergantung pada ekspor minyak.
Tahun 2010, kontribusi industri pada PDB hanya 22 persen dan terus turun hingga 19,8 persen pada kuartal kedua 2018. Kondisi inilah yang disebut deindustrialisasi dini.
CAESAR AKBAR | FAJAR PEBRIANTO