Jika Iuran BPJS Tak Naik, Defisit Bisa Mencapai Rp 77 Triliun
Reporter
Ghoida Rahmah
Editor
Ali Akhmad Noor Hidayat
Kamis, 31 Oktober 2019 06:14 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan optimistis kenaikan iuran hingga 100 persen dapat berdampak positif pada likuiditas dan perlahan mengatasi persoalan defisit keuangan yang tak kunjung mereda sejak 2014 lalu. “Tapi mungkin tidak akan langsung selesai defisit 2019 tertutup, secara bertahap, setidaknya di 2020 kita sudah bernafas legas,” ujar juru bicara BPJS Kesehatan M. Iqbal Anas Ma’ruf kepada Tempo, Rabu 30 Oktober 2019.
Iqbal berujar pasca kenaikan iuran dilakukan, lembaganya terus berbenah dan menyusun rencana prioritas. “Kami dalam jangka pendek harus segera menyelesaikan keterlambatan pembayaran klaim pada rumah sakit, ini sudah mulai dilakukan karena kenaikan iuran untuk kelas penerima bantuan iuran (PBI) dari pemerintah kan sudah dilakukan pada 1 Agustus 2019,” katanya.
Adapun berdasarkan kalkulasi sementara yang dilakukan BPJS Kesehatan, surplus diproyeksi akan mulai terjadi di tahun depan. Sebaliknya, jika opsi kenaikan iuran tak diambil, defisit akan terus bertambah, dan diprediksi mencapai Rp 77 triliun di 2024.
Meski demikian, Iqbal mengatakan BPJS Kesehatan tak hanya mengandalkan kenaikan iuran untuk mengatasi defisit. Menurut dia, ada sejumlah upaya lain yang akan dilakukan di antaranya memperbaiki tata kelola anggaran dan memastikan seluruh sistem berjalan efisien. “Contohnya untuk pemberlakuan kapitasi berbasis komitmen pelayanan, artinya fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) harus memenuhi parameter yang diprasyaratkan dalam peraturan Menteri Kesehatan yang mengatur, dan penerapan rujukan online,” ujar dia.
Koordinator BPJS Watch Timboel Siregar mengungkapkan kenaikan iuran PBI pada Agustus 2019 belum akan mampu menutup defisit keuangan yang diperkirakan Kementerian Keuangan mencapai Rp 32,8 triliun. Pasalnya, hingga akhir tahun ini, dana yang terkumpul dari kenaikan iuran PBI baru sebesar Rp 12,7 triliun. Adapun dana tersebut berasal dari PBI tanggungan APBN dan APBD.
Kenaikan itu diberlakukan pada 96,6 juta peserta PBI dari APBN dan 37 juta peserta yang ditanggung APBD. “Untuk menutup sisa defisit itu pemerintah tetap harus memberikan dana bantuan kepada BPJS Kesehatan,” kata Timboel. “Jika tidak maka akan menjadi beban program Jaminan Kesehatan Nasional – Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) tahun depan. “Sehingga utang ke rumah sakit dan mitra sudah dibayarkan semua di 2019, dan 2020 dimulai tanpa utang ke rumah sakit,” ucap dia.
<!--more-->
Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara berujar keputusan besaran kenaikan iuran tersebut dilakukan bukan tanpa dasar. Termasuk di dalamnya telah menghitung kemampuan untuk menutup defisit menahun BPJS Kesehatan. “Itu berdasarkan pertimbangan Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), perhitungannya dibandingkan antara manfaat dengan nilai premi berapa,” kata dia.
Suahasi menambahkan berdasarkan hasil audit dari Badna Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), yang sudah disampaikan kepada dewan dan publik, kenaikan penghimpunan iuran tersebut juga akan memperbaiki berbagai hal. “Mulai dari manajemen, data, hubungan BPJS dengan fasilitas kesehatan, dan juga untuk efisiensi BPJS,” ujarnya.
Sementara itu, Pengamat ekonomi dari Universitas Sebelas Maret Solo, Lukman Hakim mengatakan pemerintah harus bersikap transparan agar kenaikan iuran itu dapat diterima oleh masyarakat luas. “Hasil kajian yang mendasari kenaikan ini harus dibuka ke publik,” ucapnya.
Menurut Lukman, kenaikan iuran juga tak bisa hanya didasarkan pada upaya pemerintah untuk menambal defisit semata. “Sebab tarif yang murah saja banyak yang menunggak, apalagi dinaikkan,” katanya. Dia mengatakan, penentuan tarif harus menggunakan analisis kemampuan dan kemauan untuk membayar. “Itu harus dibandingkan, dan harus memiliki titik temu agar kebijakan bisa berjalan efektif.”
GHOIDA RAHMAH | AHMAD FAIZ | AHMAD RAFIQ