Bila Perang Dagang Terus Berlanjut, Begini Prediksi Gubernur BI
Reporter
Dias Prasongko
Editor
Rr. Ariyani Yakti Widyastuti
Selasa, 29 Oktober 2019 14:58 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo memperkirakan berlanjutnya perang dagang hingga tahun depan akan berimbas pada pertumbuhan ekonomi dunia hingga mencapai 2,9 persen. Angka ini lebih rendah dibanding prediksi pertumbuhan ekonomi global tahun ini sebesar 3 persen.
Oleh karena itu, Perry berharap, kesepakatan perang dagang antara dua negara tersebut bisa segera tercapai. "Sebab, dampaknya bukan hanya ekonomi dunia melambat tetapi juga sumber pertumbuhan dari perdagangan internasional dan harga komoditas ikut terdampak," katanya, usai memberi sambutan dalam acara Asia's Trade and Economic Priorities 2020, di Hotel Fairmont, Jakarta Selatan, Selasa 29 Oktober 2019.
Selain itu, Perry juga menggarisbawahi sikap bank sentral dunia saat ini yang cenderung mengambil kebijakan suku bunga menjadi lebih dovish atau menurun. Dia juga menyebut tren suku bunga rendah, namun di satu sisi bank sentral juga melakukan suntikan terhadap likuiditas guna mendukung pasar keuangan.
Saat ini berbagai negara, menurut Perry, termasuk Indonesia tengah menghadapi dan berupaya mengatasi tantangan yang disebabkan oleh perkembangan ekonomi dan keuangan global. Salah satunya adalah berkaitan dengan perang dagang.
Perry mengatakan situasi perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dengan Cina yang berkelanjutan membuat ekonomi dan keuangan dunia tidak lagi kondusif. Perang dagang yang berkelanjutan itu juga memperparah kondisi ekonomi dunia yang kini tengah melambat.
"Kecenderungan pertumbuhan ekonomi dunia yang melambat karena berlanjutnya perang dagang, serta sejumlah risiko di negera lain, seperti Brexit maupun kondisi geopolitik lainnya," kata Perry.
Lebih lanjut, Perry mengingatkan bahwa pada saat yang sama terjadi volatilitas aliran modal asing dan nilai tukar yang relatif menjadi lebih tinggi. Sehingga, pemerintah perlu melakukan penguatan stabilitas dan ketahanan perekonomian.
"Banyak negara melakukan injeksi likuiditas, namun pada saat bersamaan sejumlah premi risiko masih tinggi sehingga harus memperkuat stabilitas dan ketahanan ekonomi baik dari sisi makro maupun sistem keuangan," kata dia.