Jokowi - JK Dinilai Belum Banyak Diversifikasi Pendapatan Negara

Senin, 14 Oktober 2019 12:14 WIB

Presiden Joko Widodo bersama Wakil Presiden Jusuf Kalla saat memimpin rapat terbatas di Kantor Presiden, Komplek Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa 6 Agustus 2019. Rapat terbatas membahas pemindahan ibu kota yang telah ditentukan di Provinsi Kalimantan. TEMPO/Subekti

TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah Jokowi dan Jusuf Kalla dinilai belum mampu melakukan diversifikasi sumber pendapatan negara dari pajak sehingga masih bergantung pada penerimaan dari sektor migas. Hal ini disampaikan oleh Kepala Departemen Ekonomi Center for Strategic and International Studies (CSIS) Indonesia Yose Rizal Damuri.

Yose menyebutkan sejumlah kebijakan fiskal yang dilakukan oleh Kementerian Keuangan selama periode pemerintahan pertama Presiden Jokowi sudah cukup baik. Ia mengapresiasi kebijakan-kebijakan yang dibuat sesuai dengan target yang juga terarah.

Saat ini kebijakan fiskal yang dibuat pemerintah sangat fokus untuk memperbaiki perekonomian Indonesia melalui konsumsi rumah tangga. Kenaikan konsumsi masyarakat tersebut membuat tingginya permintaan pasar akan barang dan jasa selama tiga hingga empat tahun belakangan. “Apalagi sebelum ini, justru sektor fiskal Indonesia yang lebih sering bermasalah dibandingkan sektor lain,” katanya ketika dihubungi.

Meski begitu, Yose berpendapat pemerintah belum mampu melakukan divesifikasi sumber pemasukan dari sektor pajak. Indonesia masih mengandalkan sumber-sumber lama seperti pajak dari sektor migas. Padahal, saat ini harga komoditas tengah mengalami penurunan akibat tensi perang dagang dan ketidakpastian ekonomi global.

Selain itu, kebijakan-kebijakan pendukung untuk mengerek sektor industri masih cenderung bersifat ad-hoc. Regulasi yang dibuat seperti pada paket-paket kebijakan ekonomi masih menggunakan pendekatan secara sektoral.

Advertising
Advertising

“Tidak ada benang merah yang dapat dilihat dari regulasi yang dikeluarkan pemerintah selama ini. Approach-nya kurang menyeluruh, mereka berusaha memperbaiki yang sudah ada tetapi regulasi tersebut belum mampu mencegah kondisi-kondisi yang kemungkinan akan timbul,” kata Yose.

Selain itu, ia juga menuturkan sistematis kebijakan Indonesia masih belum tertata rapi. Yose menilai rencana deregulasi yang dicanangkan pemerintah belum dibarengi dengan gerak responsif dari kementerian dan lembaga.

<!--more-->

Ia melanjutkan, kementerian/lembaga kerap mengeluarkan peraturan-peraturan di tingkat yang justru menghambat pencapaian tujuan dalam sebuah paket kebijakan ekonomi. Akibatnya, ketidakpastian dalam berusaha dan investasi menurun dan membuat investor tidak melirik Indonesia.

Data dari Bank Dunia mencatat dalam rentang 2015 hingga 2018 ada sekitar 6.300 peraturan yang dikeluarkan pada tingkat kementerian/lembaga. Memang ada sejumlah perbaikan yang timbul karena salah satu poin dalam kebijakan ekonomi. Akan tetapi, sifatnya masih belum berkelanjutan (sustainable).

Kombinasi hal ini ditambah dengan kondisi global yang tak tentu membuat pertumbuhan ekonomi Indonesia juga melambat. “Perlu ada reformasi pembentukan aturan atau regulasi yang lebih baik agar kebijakan ekonomi yang dikeluarkan tidak bertabrakan dengan peraturan kementerian/lembaga. Salah satu caranya adalah penguatan peran kementerian koordinator,” kata Yose.

Sebelumnya, Partner DDTC Fiscal Research Bawono Kristiaji meminta pemerintah untuk segera mengambil langkah antisipasi terhadap risiko penurunan penerimaan pajak atau shortfall pajak yang lebih besar dan akan terjadi pada akhir tahun ini.

Ia mengatakan seharusnya tren pelemahan penerimaan pajak bisa menjadi pelajaran bagi otoritas pajak dalam pencapaian target penerimaan pada masa depan. Caranya, bisa dengan memperkuat struktur penerimaan pajak supaya tidak rentan dengan goncangan sektor tertentu.

Pasalnya, struktur pajak saat ini dinilai sangat rentan dan gampang terhempas oleh volatilitas global. “Risiko shortfall penerimaan pada tahun ini sepertinya akan melebar. Tekanan ekonomi terutama bagi dua sektor utama penerimaan yaitu pertambangan dan industri pengolahan, serta konsumsi masyarakat jelas sangat memukul penerimaan di 2019 ini,” kata Bawono, Selasa, 8 Oktober 2019.

Dengan prospek ekonomi yang masih belum pasti, menurut Bawono, tren pelemahan penerimaan agaknya masih akan terbawa hingga tahun depan. Namun, pelajaran yang bisa diambil untuk ke depan adalah pemerintah perlu memperkuat struktur penerimaan pajak yang tidak rentan.

<!--more-->

Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebut adanya pelemahan penerimaan negara tahun 2019 apabila dibandingkan dengan dua tahun sebelumnya. Hal Itu terlihat dari tiga komponen, yaitu realisasi pendapatan negara, realisasi perpajakan, serta realisasi penerimaan negara bukan pajak. Berdasarkan data APBN Kita Edisi September 2019, Tiga komponen itu terpantau lebih rendah ketimbang dua tahun sebelumnya.

"Ini menandakan bahwa kondisi ekonomi mengalami penurunan, sehingga para perusahaan terutama pembayar pajak membayarkan pajaknya lebih rendah dibandingkan dua tahun sebelumnya. Ini yang harus kita waspadai," ujar Sri Mulyani di Kantor Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Jakarta, Selasa, 24 September 2019.

Pelemahan dari segi pembayaran pajak, terutama wajib pajak perusahaan, kata Sri Mulyani, menggambarkan mereka mengalami situasi dan kondisi yang kurang baik pada tahun ini.

Realisasi penerimaan negara hingga 31 Agustus 2018 baru mencapai Rp 1.189,28 triliun atau 54,93 persen dari target APBN. Adapun pada 2018 realisasi untuk periode yang sama adalah Rp 1.152,88 triliun atau 60,85 persen dari target dan pada 2017 adalah Rp Rp 973,4 triliun atau 56,1 persen dari target.

Sedangkan realisasi penerimaan perpajakan hingga Agustus 2019 adalah Rp 920,15 triliun alias 51,5 persen dari target. Tahun lalu realisasi tersebut tercatat Rp 907,53 atau 56,09 persen dari target dan pada 2017 adalah Rp 778,7 triliun atau 52,9 persen dari target.

Pada penerimaan bukan pajak, Sri Mulyani mencatat realisasi hingga 31 Agustus 2019 adalah Rp 268,16 triliun atau 70,89 persen dari target. Pada periode yang sama tahun lalu realisasinya mencapai Rp 240,32 triliun atau 87,25 persen dari target. Sementara pada 2017 realisasi PNBP Agustus adalah Rp 193,3 triliun atau 74,3 persen dari target.

BISNIS | CAESAR AKBAR

Berita terkait

Jokowi Teken Pengesahan UU DKJ

4 menit lalu

Jokowi Teken Pengesahan UU DKJ

Presiden Jokowi menandatangani pengesahan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2024 tentang Daerah Khusus Jakarta atau UU DKJ

Baca Selengkapnya

Kala Jokowi dan Gibran Disebut sebagai Bagian dari Keluarga Besar Golkar dan PAN

24 menit lalu

Kala Jokowi dan Gibran Disebut sebagai Bagian dari Keluarga Besar Golkar dan PAN

Ini alasan Partai Golkar dan PAN menyebut Jokowi dan Gibran sebagai bagian dari keluarga besar partainya.

Baca Selengkapnya

Didampingi Prabowo, Jokowi Terima Kunjungan PM Singapura di Istana Bogor

31 menit lalu

Didampingi Prabowo, Jokowi Terima Kunjungan PM Singapura di Istana Bogor

Pertemuan Jokowi dan Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Long merupakan yang terakhir sebelum keduanya memasuki masa purna tugas.

Baca Selengkapnya

PAN Mau Terima Jokowi dan Gibran Setelah Dipecat PDIP

1 jam lalu

PAN Mau Terima Jokowi dan Gibran Setelah Dipecat PDIP

Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan sebelumnya mengaku dirinya sudah berulang kali menyampaikan bahwa PAN membuka pintu untuk Jokowi dan Gibran.

Baca Selengkapnya

Beberapa Kasus Terkait Bea Cukai yang Menghebohkan Publik

2 jam lalu

Beberapa Kasus Terkait Bea Cukai yang Menghebohkan Publik

Bea cukai sedang disorot masyarakat. Ini beberapa kasus yang membuat heboh

Baca Selengkapnya

Jokowi Percaya Bahlil Pimpin Satgas Gula dan Bioetanol, Ini 7 Tugas Pokoknya

3 jam lalu

Jokowi Percaya Bahlil Pimpin Satgas Gula dan Bioetanol, Ini 7 Tugas Pokoknya

Presiden Jokowi tunjuk Menteri Investasi Bahlil Lahadalia sebagai Ketua Satgas Gula dan bioetanol. Apa saja tugas-tugasnya?

Baca Selengkapnya

Rangkuman Poin Kehadiran Sri Mulyani di Forum IMF-World Bank

12 jam lalu

Rangkuman Poin Kehadiran Sri Mulyani di Forum IMF-World Bank

Menkeu Sri Mulyani Indrawati mengatakan terdapat tiga hal utama dari pertemuan tersebut, yaitu outlook dan risiko ekonomi global.

Baca Selengkapnya

PSI Sambut Baik Partai Luar Koalisi Gabung di Pemerintahan Prabowo-Gibran

13 jam lalu

PSI Sambut Baik Partai Luar Koalisi Gabung di Pemerintahan Prabowo-Gibran

Partai Solidaritas Indonesia (PSI) menyambut baik partai-partai non-Koalisi Indonesia Maju (KIM) yang ingin bergabung pasca penetapan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka sebagai presiden dan wakil presiden terpilih. Menurut Wakil Ketua Dewan Pembina PSI Grace Natalie, sikap tersebut mencontoh Presiden Joko Widodo alias Jokowi.

Baca Selengkapnya

Prabowo Ungkap Restu Jokowi Jadi Alasan Dia Maju Pilpres 2024

15 jam lalu

Prabowo Ungkap Restu Jokowi Jadi Alasan Dia Maju Pilpres 2024

Prabowo menjelaskan alasan mengapa dia maju dalam Pilpres 2024.

Baca Selengkapnya

Prabowo Mengaku Disiapkan Jokowi dengan Matang untuk Jadi Presiden

17 jam lalu

Prabowo Mengaku Disiapkan Jokowi dengan Matang untuk Jadi Presiden

Prabowo mengungkapkan hal itu di acara PBNU.

Baca Selengkapnya