Jurus Jokowi Antisipasi Ancaman Resesi Global
Reporter
Ghoida Rahmah
Editor
Ali Akhmad Noor Hidayat
Kamis, 5 September 2019 06:46 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah kian serius mengantisipasi perlambatan pertumbuhan ekonomi global yang dikhawatirkan memicu potensi resesi semakin besar. Kemarin, Presiden Joko Widodo secara khusus menggelar rapat terbatas untuk membahas langkah-langkah dan antisipasi dalam menanggapi perkembangan ekonomi dunia tersebut.
“Langkah-langkah antisipatif diharapkan sudah benar-benar secara konkret kita siapkan, dan kita berharap perlambatan pertumbuhan ekonomi serta dampak resesi yang semakin besar ini bisa kita hindari,” ujar Jokowi, di Istana Kepresidenan, Rabu 4 September 2019. Menurut dia, langkah tercepat yang bisa dilakukan pemerintah untuk mengantisipasi hal itu adalah dengan meningkatkan investasi yang masuk.
Jokowi pun meminta jajarannya untuk sigap menginventarisasi segala regulasi mengenai ekonomi dan investasi yang dirasa menghambat gerak pemerintah dalam upaya meningkatkan laju ekonomi nasional.
Berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan II 2019 hanya mencapai 5,05 persen secara tahunan, atau melambat jika dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar 5,27 persen. “Nanti seminggu lagi kita akan bicara mengenai masalah bagaimana segera menyederhanakan peraturan yang menghambat dan memperlambat itu,” ucapnya.
Direktur Bank Dunia untuk Indonesia, Rodrigo A. Chaves sebelumnya telah lebih dulu menemui Jokowi untuk mengingatkan pemerintah akan ancaman pelemahan ekonomi global. “Ada juga beberapa poin yang perlu diwaspadai pada situasi geopolitik saat ini, Indonesia perlu terus memonitor dan menyiapkan langkah,” ujar dia.
<!--more-->
Chaves mengungkapkan Bank Dunia merekomendasikan agar pemerintah Indonesia terus memperbaiki defisit neraca transaksi berjalan (CAD) dengan penanaman modal asing (PMA) atau foreign direct investment (FDI). “Cara ini paling baik untuk menambah modal juga memperbaiki aliran portofolio,” katanya. Menurut dia, pemerintah perlu memberikan kepastian hukum terhadap investor asing, agar mereka tertarik untuk merealisasikan investasinya. “Aturan mainnya harus jelas, stabil,” ucap Chaves.
Sementara itu, Bank Indonesia turut memantau perkembangan sejumlah negara yang mulai terjangkit resesi perekonomian global. Adapun penyebab utamanya masih bersumber dari perseteruan dagang antara Cina dan Amerikat Serikat (AS) yang masih tak diketahui ujungnya.
“India saja pertumbuhan ekonominya sudah turun cukup tajam, dari 6-7 persen sekarang 5 persen, konsumsi masyarakatnya rendah sekali,” kata Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia, Destry Damayanti. Terakhir beberapa negara yang terkena krisis perekonomian adalah Turki dan Argentina.
Meski demikian, bank sentral memproyeksikan kondisi perekonomian masih kuat dan kredibel. Terlebih, dari sisi imbal hasil investasi, Indonesia masih menarik dibandingkan dengan negara-negara lainnya. “Makro ekonomi kita masih bagus, moneter dan fiskal kita juga,” ujarnya. “Kita juga masih punya daya tahan ditopang perekonomian domestik yang masih kuat.”
Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Shinta Kamdani mengatakan posisi pelaku usaha kini semakin sulit akibat perang dagang dan gejala perlambatan ekonomi global. Tak pelak, aliran investasi sektor riil yang masuk juga terbatas. “Aliran investasi yang masih ada pun motifnya juga hanya satu, yaitu mencari production cost yang lebih kompetitif untuk mensuplai pasar global,” kata dia. “Sebab, motif investasi lainnya tidak didukung oleh kondisi pertumbuhan ekonomi global yang melambat.
Menurut Shinta, ada dua faktor yang menentukan aliran modal asing dan menjadi pertimbangan investor. Pertama, tren investasi global. Kedua, perhitungan terhadap beban dan benefit dari iklim usaha suatu negara dibandingkan dengan negara competitor lain,” ucapnya.
FRISKI RIANA | AHMAD FAIZ