Cara Bank Indonesia Mengatasi Shadow Banking

Jumat, 30 Agustus 2019 17:51 WIB

Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo memberikan sambutan dalam konferensi internasional Bulletin of Monetary Economics and Banking (BMEB) ke-13 di Bali, Kamis, 29 Agustus 2019. Istimewa

TEMPO.CO, Denpasar – Bank Indonesia mengingatkan pentingnya integrasi keuangan digital nasional. Keterhubungan antara bank dan lembaga keuangan digital dinilai penting untuk menjamin fungsi bank sentral dalam pengawasan peredaran uang. “Sehingga kami bisa menghindari pengalaman di negara lain, yaitu shadow banking,” kata Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo dalam Konferensi Internasional ke-13 Bulletin of Monetary Economics and Banking di Bali, Kamis 29 Agustus 2019.

Perry mengatakan Bank Indonesia terus mencermati era digitalisasi. Dengan begitu, bank sentral dapat mempelajari bagaimana merespons perkembangan industri keuangan berbasis teknologi (financial technology/fintech), seperti peer to peer lending—layanan keuangan yang menghubungkan antara calon pemberi pinjaman dan peminjam. “Ini cara kami menyeimbangkan inovasi dan stabilitas,” kata Perry.

Bahaya shadow banking, perantara pendanaan nonbank, menjadi salah satu catatan dalam kajian terbaru McKinsey & Company yang dirilis bulan ini. Firma konsultan global tersebut mengingatkan risiko berulangnya krisis keuangan 1997 di kawasan Asia.

McKinsey mencermati semakin besarnya utang jangka panjang yang dimiliki korporasi dengan interest coverage ratio (ICR) kurang dari 1,5 di beberapa negara di Asia, termasuk Indonesia. Rendahnya indikator kemampuan sebuah perusahaan dalam membayar bunga utang itu dianggap riskan lantaran dapat menimbulkan gejolak jika peminjam dana kolaps hingga gagal bayar (default).

Persoalannya, McKinsey menilai ada “lubang” pada sistem keuangan di Asia, yakni tren rendahnya margin dan tingginya biaya risiko. Pada sisi lain, pembiayaan korporasi terkonsentrasi ke bank dan lembaga nonbank lantaran lemahnya pasar modal di beberapa negara. Pembiayaan dari perantara nonbank atau shadow banking, seperti fintech, terus meningkat. Kondisi ini berisiko tatkala terjadi default. Di beberapa negara, shadow banking kerepotan dan mencari pinjaman ke bank tatkala klien mereka gagal bayar. Seperti lingkaran setan, kondisi ini bisa menyebabkan gagal bayar lanjutan.

“Saat ini, media di bidang keuangan dan pengamat mempertanyakan apakah kenaikan level utang di Asia bisa memicu terjadinya krisis baru. Sayangnya, tanda-tandanya semakin memburuk,” demikian tertulis dalam laporan yang disusun Senior Partner McKinsey Singapura, Joydeep Sengupta, dan Senior Expert McKinsey, Archana Seshadrinathan, tersebut.

Berita terkait

Inflasi April Hanya 0,25 Persen, BI Ungkap Pemicunya

4 jam lalu

Inflasi April Hanya 0,25 Persen, BI Ungkap Pemicunya

BI menyebut inflasi IHK pada April 2024 tetap terjaga dalam kisaran sasaran 2,51 persen, yakni 0,25 persen mtm.

Baca Selengkapnya

Ekonomi NTB Tumbuh Positif, Ekspor Diprediksi Meningkat

2 hari lalu

Ekonomi NTB Tumbuh Positif, Ekspor Diprediksi Meningkat

Perkembangan ekonomi Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) 2023 tumbuh positif.

Baca Selengkapnya

Meski BI Rate Naik, PNM Tak Berencana Naikkan Suku Bunga Kredit

3 hari lalu

Meski BI Rate Naik, PNM Tak Berencana Naikkan Suku Bunga Kredit

PNM menegaskan tidak akan menaikkan suku bunga dasar kredit meskipun BI telah menaikkan BI Rate menjadi 6,25 persen.

Baca Selengkapnya

BRI Klaim Kantongi Izin Penggunaan Alipay

3 hari lalu

BRI Klaim Kantongi Izin Penggunaan Alipay

Bank Rakyat Indonesia atau BRI mengklaim telah mendapatkan izin untuk memproses transaksi pengguna Alipay.

Baca Selengkapnya

Suku Bunga Acuan Naik Jadi 6,25 Persen, BCA Belum akan Ikuti

3 hari lalu

Suku Bunga Acuan Naik Jadi 6,25 Persen, BCA Belum akan Ikuti

BCA belum akan menaikkan suku bunga, pasca BI menaikkan suku bunga acuan ke angka 6,25 persen.

Baca Selengkapnya

Kenaikan BI Rate Berpotensi Tekan Penyaluran Kredit

4 hari lalu

Kenaikan BI Rate Berpotensi Tekan Penyaluran Kredit

Kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI Rate) menjadi 6,25 persen bisa berdampak pada penyaluran kredit.

Baca Selengkapnya

BI Perluas Cakupan Sektor Prioritas KLM untuk Dukung Pertumbuhan Kredit

4 hari lalu

BI Perluas Cakupan Sektor Prioritas KLM untuk Dukung Pertumbuhan Kredit

BI mempersiapkan perluasan cakupan sektor prioritas Kebijakan Insentif Likuiditas Makroprudensial (KLM).

Baca Selengkapnya

BI Optimistis Pertumbuhan Ekonomi Naik 4,7-5,5 Persen Tahun Ini

4 hari lalu

BI Optimistis Pertumbuhan Ekonomi Naik 4,7-5,5 Persen Tahun Ini

BI sedang mempersiapkan instrumen insentif agar mendorong pertumbuhan ekonomi.

Baca Selengkapnya

BI Catat Rp 2,47 T Modal Asing Tinggalkan RI Pekan Ini

6 hari lalu

BI Catat Rp 2,47 T Modal Asing Tinggalkan RI Pekan Ini

BI mencatat aliran modal asing yang keluar pada pekan keempat April 2024 sebesar Rp 2,47 triliun.

Baca Selengkapnya

Ekonom Ideas Ingatkan 3 Tantangan RAPBN 2025

7 hari lalu

Ekonom Ideas Ingatkan 3 Tantangan RAPBN 2025

Direktur Institute for Demographic and Poverty Studies (Ideas) Yusuf Wibisono menyebut RAPBN 2025 akan sejumlah tantangan berat.

Baca Selengkapnya