Pakar Hukum: Referendum Pemindahan Ibu Kota Malah Menyalahi UU
Reporter
Fajar Pebrianto
Editor
Rr. Ariyani Yakti Widyastuti
Sabtu, 24 Agustus 2019 12:55 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Pakar hukum tata negara dari Universitas Pancasila, Muhammad Rullyandi menilai pemindahan ibu kota dari Jakarta ke Pulau Kalimantan cukup memerlukan payung hukum berupa Undang-undang saja, tak perlu referendum. “Tidak ada dasar hukumnya menggunakan referendum, menyalahi Undang-undang,” kata dia dalam diskusi di Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu, 24 Agustus 2019.
Menurut Rulyandi, ketentuan mengenai referendum ini sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1985 tentang Referendum. Dalam Pasal 1 huruf a UU tersebut disebutkan bahwa “Referendum adalah kegiatan untuk meminta pendapat rakyat secara langsung mengenai setuju atau tidak setuju terhadap kehendak Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk mengubah Undang-Undang Dasar 1945.”
Sebelumnya, Sandiaga Uno mengusulkan pemerintah membuat referendum terkait wacana pemindahan ibu kota. Mantan calon wakil presiden ini menilai pemindahan ibu kota adalah persoalan strategis, untuk itu menjadi tugas dan hak warga negara untuk membahas menyampaikan pandangannya. “Mestinya referendum, setuju gak pemindahan ibu kota,” kata Sandi di Gedung Juang 45, Cikini, Jakarta Pusat, Kamis, 22 Agustus 2019.
Mantan Wakil Gubernur DKI Jakarta ini meminta pemerintah untuk lebih terbuka akan rencana ini. Ia menuntut pemerintah terbuka akan hasil analisis pemindahan ibu kota, dan siapa saja yang dilibatkan dalam pembahasan itu. Wakil Ketua DPR Fadli Zon pun sepakat dengan usulan dari mantan rekannya di Partai Gerindra tersebut.
Rullyandi merupakan ahli tata negara yang sempat memberikan keterangan saksi ahli di Mahkamah Konstitusi yang dihadirkan oleh pihak Pemohon Prof. Dr. OC. Kaligis atas uji materi UU Advokat pada Februari 2014. Museum Rekor Indonesia mencatat Rullyandi menjadi ahli hukum tata negara termuda yang menjadi saksi ahli di Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi sebanyak 33 kali pada usia 31 tahun.
Lebih lanjut, Rullyandi mengatakan Jakarta memang berstatus sebagai daerah khusus. Sementara ketentuan dalam Pasal 18B ayat 1 UUD 1945 hanya menyebutkan bahwa negara menghormati dan menghargai satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan Undang-Undang. Sehingga, Ia menyebut status Jakarta sebagai ibu kota negara bersifat fleksibel, tidak absolut.
Ketentuan Jakarta sebagai ibu kota negara hanya diatur di regulasi setingkat Undang-Undang yaitu UU Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam Pasal 3 disebutkan bahwa “Provinsi DKI Jakarta berkedudukan sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia”.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah atau KPPOD, Robert Endi Jaweng, menilai pemindahan ibu kota ini tak cukup hanya diminta ke DPR saja. Permintaan pemindahan ibu kota ini dilakukan Presiden Joko Widodo atau Jokowi pada 16 Agustus 2019 lalu di pidato kenegaraannya. “Harus ada UU baru atau revisi dari UU 29 Tahun 2007 tersebut,” kata dia.
Sementara itu, Guru Besar Ilmu Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Emil Salim menilai pemindahan ibu kota tidak perlu melalui proses referendum. "Tidak usah menggunakan referendum. Yang penting bagaimana Presiden Joko Widodo mendapatkan masukan yang lebih rasional sehingga beliau yang memutuskan rencana pemindahan ibu kota negara," ujar Emil Salim di Jakarta, Jumat, 23 Agustus 2019.
Sebaliknya, Emil khawatir proses referendum dalam rencana pemindahan ibu kota negara hanya akan menjadi masalah politis. Oleh karena itu, semua pihak disarankan melakukan kajian lebih dalam dan jernih terkait rencana pemindahan ibu kota negara ke Kalimantan, ketimbang mengusulkan referendum untuk memutuskannya.