(ki-ka) Ketua Dewan Komisi Otoritas Jasa Keuangan Wimboh Santoso, Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro, dan Kepala Badan Pusat Statistik Suhariyanto dalam rapat kerja dengan Dewan Perwakilan Rakyat Komisi XI soal Asumsi Dasar dalam Kerangka Asumsi Makro dan Pokok Pokok Kebijakan Fiskal RAPBN 2020. Tempo/Hendartyo Hanggi
TEMPO.CO, Jakarta - Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira Adhinegara menilai Anggaran Pendapatan Belanja Negara atau APBN 2019 sangat terbuka untuk dilakukan perubahan.
Sebab, sejumlah target yang diproyeksikan pemerintah diperkirakan bakal meleset dari asumsi yang dibuat pada tahun ini. "Sangat terbuka adanya APBN Perubahan," ujarnya kepada Bisnis, Senin, 17 Juni 2019.
Sejumlah koreksi, kata Bhima, harus dilakukan oleh pemerintah, terutama pada asumsi pertumbuhan ekonomi, kurs rupiah, dan harga minyak. "Koreksi pada asumsi pertumbuhan ekonomi, kurs rupiah, dan harga minyak, mendesak untuk dilakukan," katanya.
Menurutnya apabila tanpa dilakukan revisi pada APBN 2019 ini, dikhawatirkan penerimaan pajak akan mencatat shortfall yang sangat tinggi. "PNBP (penerimaan negara bukan pajak) juga tidak bisa diharapkan karena targetnya overshoot," ujarnya.
Dia menilai jika asumsi saat ini tetap dipertahankan, defisit APBN akan berisiko melebar.
Pemerintah saat ini masih terus mengkaji pengajuan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) 2019 Perubahan, menyusul adanya proyeksi sejumlah indikator yang telah di pasang bakal meleset dari asumsi awal.
Pemerintah akan memonitor seluruh indikator secara komprehensif, termasuk outlook yang ada. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pesimistis sejumlah target yang telah disusun dalam APBN 2019, akan mampu tercapai dengan baik.
Pasalnya, menurut mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia tersebut, saat ini sejumlah indikator asumsi makro dalam APBN 2019 diproyeksikan bakal meleset dari asumsi awal.