Regulasi Listrik Tenaga Surya Dinilai Hambat Investasi
Reporter
Vindry Florentin
Editor
Ali Akhmad Noor Hidayat
Kamis, 28 Februari 2019 07:50 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) menyatakan rangkaian kebijakan yang mengatur listrik tenaga surya menghambat pengembangan teknologi ramah lingkungan tersebut. Analis IEEFA, Elrika Hamdi, menyatakan perkembangan energi surya sebagai pembangkit listrik di Indonesia tertinggal dari negara-negara ASEAN.
Simak: Listrik Tenaga Surya Berupa 200 Unit PJUTS Lombok Utara Dibangun
Elrika mencatat, kapasitas pembangkit energi surya di Indonesia hanya 80 Megawatt (MW). Sementara Thailand misanya, sudah memiliki kapasitas hingga 2,6 juta MW dan Filipina 868 MW. "Padahal Indonesia memiliki potensi hingga 500 Gigawatt," ujarnya, Rabu 27 Februari 2019.
Situasinya, menurut dia, diperparah dengan ketidakseriusan pemerintah membangun tenaga surya. Dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) hingga 2020 nanti tercatat kapasitasnya hanya bertambah sekitar 200 MW. Mengutip data The Lantau Group, Thailand tercatat berencana menambah hingga 1.000 MW pada 2020. Vietnam bahkan memproyeksikan penambahan kapasitas hingga 3.000 MW.
Elrika menyatakan kebijakan yang menghambat pengembangan tenaga surya salah satunya ialah ketentuan Built, Operate, Own, and Transfer (BOOT) yang mewajibkan pengalihan kepemilikan proyek usai 20 tahun beroperasi. "Terlepas dari nilai aset dan manfaat residual yang masih berjalan, kebijakan ini mengurangi tingkat keekonomian proyek listrik tenaga surya," ujarnya.
Pengembang Pembangkit Listrik Tenaga Surya swasta (IPP) juga kesulitan lantaran listrik yang dijual dihargai 85 persen lebih rendah dari Biaya Pokok Produksi (BPP) pembangkit konvensional PLN. PLTS kesulitan bersaing dengan Pembangkit Listrik Tenaga Uap berbasis batu bara yang disuntik subsidi pemerintah.
Elrika menuturkan, penentuan BPP pun tak transparan. Selama ini faktor penentu BPP hanya diketahui oleh PLN dan Kementerian Energi.
Di sisi lain, IPP harus mengikuti aturan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) untuk panel tenaga surya. Indonesia saat ini masih harus mengimpor komponen panel dari luar negeri lalu merangkainya di dalam negeri. Harga komponen tersebut lebih mahal ketimbang panel surya yang dijual negara lain seperti Cina. Akibatnya harga jual panel surya buatan lokal lebih mahal dari produk impor.
Managing Director Akuo Energy Indonesia, M. Refi Kunaefi, menyatakan pemerintah perlu memberi insentif bagi IPP yang mematuhi aturan TKDN dengan meningkatkan serapan pasar dan investasi di industri tersebut. Tujuannya agar harga panel surya bisa ditekan. “Jika pengguna TKDN dapat insentif, orang bisa pakai produksi dalam negeri. Dampaknya, investasi ke industri panel surya bisa semakin murah,” katanya.
Refi juga menyarankan pemerintah untuk memberikan kepastian regulasi. Potensi pengembangan tenaga surya di Indonesia, menurut dia, sangat besar. Peluang investasi akan lebih mudah dikerjakan pihak swasta jika pemerintah bersedia duduk bersama untuk menjalin kerja sama sehingga kebutuhan listrik penduduk bisa terpenuhi.
Direktur Aneka Energi Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Harris mengatakan ketentuan untuk PLTS (Pembangkit Listrik Tenaga Surya) sudah cukup menarik bagi investor. Ketentuan BOOT misalnya, berlaku tidak hanya untuk PLTS. "Jika dianggap ketentuan tersebut menghambat investasi, mungkin bisa dilihat pada progress PPA pada 2017," ujarnya. Power purchase agreement (PPA) untuk PLTS mencapai enam proyek. Semua proyek tersebut telah mencapai tahap financial close sebelum desember 2018.