Sebut Utang Pemerintah Aman, Chatib Basri Ingatkan 2 Tantangan
Reporter
Muhammad Hendartyo
Editor
Rr. Ariyani Yakti Widyastuti
Kamis, 7 Februari 2019 14:21 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Mantan Menteri Keuangan Chatib Basri mengatakan utang pemerintah Indonesia relatif aman. Hal itu terlihat dari rasio utang pemerintah terhadap Produk Domestik Bruto atau PDB yang sekitar 29 persen.
Baca: Utang Pemerintah di 2018 Capai Rp 4.418,3 Triliun, Ini Rinciannya
"Saya mengatakan bahwa utang Indonesia relatif aman karena rasio utang/PDB nya masih sekitar 29 persen," kata Chatib Basri melalui akun Twitter-nya @ChatibBasri, Rabu, 6 Februari 2019.
Menurut Chatib Basri, jika pemerintah menjaga keseimbangan primer dan mendorong pertumbuhan, maka rasio tersebut bisa semakin menurun. Hal itu dia sampaikan, karena banyak mendapat pertanyaan dari mahasiswa soal masih amankah utang Indonesia.
Chatib Basri menjelaskan, yang menjadi tantangan saat ini adalah bagaimana mendorong pertumbuhan ekonomi lebih cepat. Sebab, dalam bayangannya, Indonesia tidak bisa terus menerus tumbuh hanya 5 persen.
"Tahun 2060 Indonesia akan masuk dalam aging population. Jika terus tumbuh hanya 5 persen, maka ada risiko kita tua sebelum kaya," ujar Chatib Basri.
Tantangan berikutnya, kata Chatib Basri, bagaimana defisit keseimbangan primer yang menurun, di mana bisa diharapkan multiplier efek yang tinggi. "Jawabannya yang paling utama harus diperhatikan adalah kualitas belanja."
Menurut Chatib Basri, dari setiap rupiah yang dibelanjakan harus diperoleh hasil optimal. Secara intuitif, kata dia, utang tidak bermasalah jika return yang peroleh dari aktifitas ekonomi yang dibiayai oleh utang lebih besar dari bunga utang yang harus dibayar.
Chatib Basri lantas mencontohkan, ia meminjam uang dari bank senilai 100 dan dikenai bunga 10 persen. "Utang itu saya gunakan untuk usaha saya. Hasil dari usaha saya misalnya 15 persen. Maka return saya adalah 15, sedangkan bunga utang saya 10. Ini contoh utang yang produktif," ujarnya.
Selanjutnya, bila diterapkan dalam konteks negara, menurut Chatib, maka output yang dihasilkan adalah PDB yang diukur dengan pertumbuhan ekonomi. Sementara bunga utang yang harus dibayar adalah bunga cicilan utang.
Lebih jauh Chatib Basri mengaku bahwa perumpamaan tersebut dalam menjelaskan perihal utang akan terlihat sangat menyederhanakan. Sebab, sejatinya perhitungan juga harus memasukkan rasio utang terhadap PDB yang sudah ada dan tambahan utang yang terjadi akibat defisit primer dalam anggaran.
"Mudahnya, kita harus melihat return dari usaha kita, bunga utang, stock utang yang sudah ada dan tambahan utang yang baru (karena pendapatan kita lebih kecil dari pengeluaran)," ujar Chatib Basri.
Pernyataan Chatib Basri terkait utang ini tak lepas dari banyak pihak yang mempermasalahkan besar utang pemerintah belakangan ini. Utang pemerintah per akhir Desember 2018 mencapai Rp 4.418,3 triliun.
Baca: Prabowo Sebut Sri Mulyani Pencetak Utang, Kemenkeu Tersinggung
Angka tersebut naik 10,6 persen dibanding akhir Desember 2017 sebesar Rp 3.995,25 triliun. Dengan angka PDB sementara tahun 2018 sebesar Rp 14.735,85 triliun, maka rasio utang terhadap PDB mencapai 29,98 persen.