Menteri Desa Optimistis Penyerapan Dana Desa 2018 Capai 99 Persen
Reporter
Caesar Akbar
Editor
Ali Akhmad Noor Hidayat
Minggu, 18 November 2018 15:00 WIB
TEMPO.CO, Tangerang Selatan - Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Eko Putro Sandjojo optimistis penyerapan dana desa pada tahun 2018 bisa mencapai di atas 99 persen. "Penyerapan tersebut menunjukkan tata kelolanya mulai membaik," ujar Eko di Sekolah Tinggi Akuntansi Negara, Tangerang Selatan, Ahad, 18 November 2018.
Baca: Alokasi Dana Desa Rp 70 T di 2019, Begini Penilaian Sri Mulyani
Menurut Eko, pengelolaan dana desa bisa dilihat dari besar penyerapan setiap periodenya. Sebab, syarat pengucuran dana di tahapan berikutnya adalah laporan dan hasil audit di setiap tahapan telah diterima oleh inspektorat kabupaten. Adapun dalam satu tahun dana desa dikucurkan dalam tiga tahapan.
"Dana desa juga tidak akan dikucurkan dari pemerinth pusat kalau 50 persen di desa hasil auditnya belum diterima inspektorat kabupaten," ujar dia.
Dalam empat tahun terakhir, kata Eko, dana desa yang sudah dikucurkan mencapai Rp 187 triliun. Pada periode awal dana desa, yakni 2015, pemerintah mengalokasikan dana desa sebesar Rp 20,67 triliun. Kala itu, penyerapannya baru mencapai 82 persen. "Penanganan dana desa tidak semudah yang kami bayangkan."
Pada awal periode itu, salah satu kendala yang dihadapi adalah kapabilitas kepala desa dalam mengelola keuangan desa. Kala itu, ujar Eko, 60 persen kepala desa hanya tamatan Sekolah Dasar atau Sekolah Menengah pertama. Mereka juga tidak didukung Badan Perencanaan Pembangunan maupun dinas-dinas layaknya kabupaten. "Bahkan saat itu lebih dari 10 ribu desa tidak memiliki kantor desa," ujar Eko.
Pada masa awal, kata Eko, pengelolaan dana desa kala itu tidak akurat. Misalnya saja pada pembangunan dana desa, perencanaan yang dilakukan oleh para kepala desa tidak detail. Sehingga, acapkali biaya yang perlu digelontorkan pada realisasi program membengkak ketimbang perencanaannya.
<!--more-->
Persoalan itu kemudian kerap menjadi temuan aparat hukum dan menghambat proses pengucuran dana desa tahap berikutnya. Persoalan lainnya adalah ihwal pajak yang dibayarkan desa.
Toko-toko di desa hampir dipastikan tidak ada yang mengeluarkan faktur pajak. Akibatnya, para kepala desa kerap mengakalinya dengan membuat faktur sendiri. Kebiasaan itu lantas menjadi penghambat pengelolaan dana desa.
Kendati pada awal periode, pengelolaan duit khusus desa itu kerap dibayangi masalah, Eko berujar pemerintah tetap tak mengehentikan program itu. Malahan, anggaran untuk dana desa ditambah menjadi Rp 46,98 triliun pada 2016. Penambahan alokasi anggaran itu disertai dengan pengetatan pengawasan di desa.
Eko menggandeng sejumlah pemangku kepentingan, misalnya Kepolisian, Kejaksaan Agung, Kementerian Keuangan, hingga Kementerian Dalam Negeri untuk mengawasi dana desa. "Kami sepakat kalau kesalahan administrasi, kepala desa tidak boleh dikriminalisasi. Sehingga, Kades berani mengelola dana desa," ujar dia. "Tapi kalau korupsi harus diproses secara hukum."
Di samping itu, Eko juga menggandeng sejumlah perguruan tinggi untuk membuat kegiatan pengabdian masyarakat di desa dalam bentuk kuliah kerja nyata tematik. Dengan demikian, perguruan tinggi dapat mendukung desa dalam hal pengelolaan negara hingga hal teknis seperti membangun jalan dan jembatan.
Dengan upaya itu, penyerapan dana desa mengalami kenaikan setiap tahunnya. Pada 2016, penyerapan dana desa naik menjadi 97 persen, sementara pada tahun 2017 kala alokasi anggaran naik menjadi Rp 60 triliun, penyerapannya 98 persen. "Dengan dikeroyok bersama-sama, penyerapan dana desa mulai naik."