BI: Upaya Tekan Defisit Transaksi Berjalan Butuh Waktu
Reporter
Caesar Akbar
Editor
Dewi Rina Cahyani
Kamis, 15 November 2018 19:16 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Bank Indonesia menegaskan komitmennya dalam menekan defisit transaksi berjalan. Salah satu langkahnya adalah dengan menaikkan kembali suku bunga acuannya ke 6,00 persen.
Baca: BI: Defisit Transaksi Berjalan dan Rupiah Loyo Bisa Berlanjut
"BI bersama pemerintah akan menempuh sejumlah langkah untuk menekan CAD, tapi langkah itu perlu waktu untuk bisa berdampak ke transaksi berjalan," ujar Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo di kantornya, Kamis, 15 November 2018.
Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia pada 14-15 November 2018 baru saja memutuskan untuk menaikkan BI 7-day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 25 bps menjadi 6,00 persen, suku bunga Deposit Facility sebesar 25 bps menjadi 5,25 persen, dan suku bunga Lending Facility sebesar 25 bps menjadi 6,75 persen.
Perry menyebut keputusan tersebut sebagai langkah lanjutan BI untuk memperkuat upaya menurunkan defisit transaksi berjalan ke dalam batas yang aman. Kenaikan suku bunga kebijakan tersebut juga untuk memperkuat daya tarik aset keuangan domestik dengan mengantisipasi kenaikan suku bunga global dalam beberapa bulan ke depan.
Di samping itu, Perry mengatakan bank sentral juga telah menaikkan fleksibilitas nilai tukar sesuai dengan mekanisme pasar. Tak lupa, upaya menekan defisit neraca transaksi berjalan juga diupayakan dengan mendorong ekspor dan mengurangi impor.
Upaya menekan lebarnya defisit transaksi berjalan dilakukan oleh pemerintah. Adapun sejumlah langkah yang dilancarkan antara lain dengan perluasan mandatori biodiesel dengan campuran minyak sawit 20 persen alias B20. Selain itu, pemerintah juga telah menaikkan tarif Pajak Penghasilan impor sejumlah barang impor serta menyisir sejumlah proyek infrastrukrur yang banyak menggunakan barang impor.
Sebelumnya, Bank Indonesia mengumumkan kenaikan angka defisit transaksi berjalan pada triwulan III 2018 menjadi US$ 8,8 miliar atau 3,37 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Angka tersebut lebih tinggi ketimbang triwulan sebelumnya yang sebesar US$ 8 miliar atau 3,02 persen PDB.
"Defisit neraca transaksi berjalan pada triwulan III 2018 meningkat sejalan dengan menguatnya permintaan domestik," ujar Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Agusman dalam keterangan tertulis, Jumat, 9 November 2018. Dengan kenaikan angka tersebut, kata Agusman, secara kumulatif hingga triwulan III CAD tercatat 2,86 persen PDB alias masih berada dalam batas aman.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat neraca perdagangan Indonesia defisit US$ 1,82 miliar pada Oktober 2018 seiring dengan arus impor yang kembali meningkat. Nilai defisit ini disebabkan posisi neraca ekspor yang tercatat sebesar US$ 15,80 miliar atau lebih rendah dibandingkan nilai neraca impor sebesar sebesar US$17,63 miliar.
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Kecuk Suhariyanto mengungkapkan defisit ini berasal dari sektor migas dengan defisit US$ 10,7 miliar dari Januari-Oktober. "Jadi PR besar kita adalah bagaimana menurunkan defisit ini," kata Kecuk.
Ke depannya, dia berharap ada kebijakan baru yang menyentuh pada neraca jasa. Berdasarkan tahun kalender, sepanjang Januari hingga Oktober 2018, neraca perdagangan mengalami defisit sebesar US$ 5,5 miliar. Posisi defisit ini disebabkan defisit di neraca migas sebesar US$ 10,7 miliar, di mana defisit hasil minyak mencapai US$ 13,21 miliar.
Adapun, nilai ekspor tumbuh 5,87 persen dari September ke Oktober menjadi US$15,80 miliar didukung oleh ekspor migas dan nonmigas. Ekspor migas tercatat US$ 1,48 miliar atau naik 15,18 persen dipicu nilai gas yang naik tinggi 49,39 persen.