Pemerintah Tunda Target Listrik 35 Ribu Megawatt hingga 2026
Reporter
Larissa Huda
Editor
Ali Akhmad Noor Hidayat
Kamis, 6 September 2018 07:18 WIB
TEMPO.CO, JAKARTA - Pemerintah memutuskan menunda target dan jadwal megaproyek listrik 35 ribu megawatt. Keputusan tersebut diambil sebagai salah satu strategi untuk menyelamatkan rupiah akibat dolar yang terus menguat. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Ignasius Jonan menyebutkan setidaknya 15.200 megawatt kapasitas pembangkit listrik yang akan ditunda.
Baca: Pemadaman Listrik Berkala, YLKI: Daerah Elit Tidak?
“Proyek listrik 35 ribu megawatt yang direncanakan, yang belum mencapai financial closing dan sudah digeser ke tahun setelah itu mencapai 15 ribu megawatt,” ujar Jonan pada Selasa malam, 4 September 2018.
Proyek yang digagas oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo ini semula diharapkan dapat rampung pada 2019. Megaproyek tersebut akhirnya ditunda dengan target 2021 hingga 2026. Akibatnya, kata Jonan, sejumlah proyek harus digeser lantaran estimasi pertumbuhan listrik sebesar 8 persen dari target anggaran pendapatan dan belanja negara sebesar 7 persen.
“Pertumbuhan listrik tahun ini 7 persen lebih. Pada triwulan kedua pertumbuhannya sudah mencapai 4,7 persen. Jadi estimasi kami tahun ini pertumbuhan listri maksimal hanya mencapai 6 persen. Makanya banyak proyek yang digerser,” ujar Jonan.
Dengan adanya pergeseran tersebut, Jonan menyebutkan akan menekan pengadaan barang impor. Rata-rata proyek kelistrikan komposisi tingkat komponen dalam negeri (TKDN) bisa mencapai 50 perseb lebih di beberapa proyek. Namun, setelah digeser rata-ratanya hanya mencapai sekitar 20-40 persen.
Jonan menyebutkan penundaan jadwal megaproyek kelistrikan ini bisa menggeser investasi sebesar Rp US$ 24-25 miliar. Meski investasi bekurang, kata Jonan, negara bisa menekan beban impor mencapai US$ 8-10 miliar. Nilai tersebut setara dengan Rp 149 triliun apabila kurs dolar sebesar Rp 14.900.
“Namun apa yang kami lalukan ini tidak mengurangi target pemerintah kerja target rasio elektrifikasi (RE) sebesar 99 persen pada 2019. Hari ini RE sudah mencapai 97,14 persen. Mungkin akhir tahun bisa 97,5 persen pasti tercapai,” ujar Jonan.
<!--more-->
Tak hanya listrik, Jonan menuturkan pembatasan impor juga berlaku untuk sektor minyak, gas, mineral, batubara, dan energi baru, terbarukan, dan konservasi energi (EBTKE). Prinsipnya, kata Jonan, pemerintah tidak akan menyetujui master list untuk rencana impor yang bisa didapatkan produknya yang dimanufaktur di dalam negeri.
“Dengan dua catatan, memenuhi kualitas, dan spesifikasinya sama. Kami mendorong penggunaan produk dalam negeri. Untuk turbin, kalau bisa dibuat di dalam negeri ya, dibuat di dalam negeri,” kata Jonan.
Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energy (EBTKE) Rida Mulyana menuturkan kita bisanya pertumbuhan listrik itu harus 1,2-1,3 dari pertumbuhan ekonomi. Apabila pertumbuhan ekonomi sebesar 5,0, jika dikalikan 1,2 pertumbuhan listrik harus mencapai enam persen.
“Pertumbuhan listrik 6 persen itu sedikit banyak dipengaruhi karena hemat energi karena masyarakat mulai sadar. Namun, besarannya tidak signifikan. Sebagian besar disebabkan oleh pertumbuhan ekonomi,” kata Rida.
Ketua Umum Asosiasi Produsen Listrik Swasta (APLSI) Arthur Simatupang mendatangi Kementerian ESDM untuk meminta kepastian hukum terkait rencana penundaan megaproyek listri tersebut. Pasalnya, kata Arthur, para investor supaya ada kepastian dan iklim investasi tetap terjaga. Arthur meminta kepada pemerintah turut memperhatikan secara berimbang terhadap investasi sektor tenaga listrik yang jangka panjang.
“Apalagi dalam investasi, proses perizinan, tender, hingga pembangunan bisa menghabiskan waktu hingga lima tahun,” kata Arthur.
Pada saat pertemuan bersama Wakil Menteri ESDM Archandra Tahar, Arthur sempat mengatakan bahwa sektor tenaga listrik menjadi kontributor yang cukup besar dalam ekonomi. Sehingga kondisi ekonomi harus dijaga lantaran investasi itu harus dijaga terus. Sampai saat ini, APLSI sendiri masih menunggu kejelasan terkait kebijakan penundaan megapryek listrik tersebut.
“Sampai saat ini, penundaan itu belum bersifat peraturan, baru sosialisasi. Kami melihat selama proyek sudah berkontrak yang secara hukum itu sah, saya rasa masih bisa dilanjutkan,” kata Arthur.