HUT RI: Garda Pangan, Misi Bank Makanan Jadi Social Enterprise
Reporter
Fajar Pebrianto
Editor
Kodrat Setiawan
Minggu, 19 Agustus 2018 07:30 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Pada HUT RI ke-73, komunitas dan startup food bank bernama Garda Pangan terus menunjukkan eksistensi mereka. Komunitas asal Surabaya ini telah memasang target untuk menjadi social enterprise, sebuah bisnis yang mengusung misi sosial dalam waktu dekat.
"Perlahan tapi pasti, kami emang ingin menjadi social enteprise itu," kata Eva Bachtiar, 32 tahun, salah satu pendiri Garda Pangan saat dihubungi di Jakarta, Sabtu, 18 Agustus 2018.
Garda Pangan pada dasarnya merupakan sebuah komunitas yang mendistribusikan makanan berlebih dari restoran hingga pasar organik ke kelompok masyarakat prasejahtera yang hidup di Surabaya. Komunitas ini berdiri 10 Juni 2017. Pencetusnya yaitu Eva, Dedhy Bharoto Trunoyudho, dan istrinya, Indah Audivtia.
Mereka resah lantaran banyaknya makanan yang terbuang sia-sia di Surabaya. Sehingga, mulailah mereka menampung makanan yang berlebih tersebut. Maka layaknya bank, Garda Pangan rutin menerima makanan sisa dari para nasabah mereka.
"Saat ini toko roti telah empat, restoran satu, pasar satu, dan katering satu," ujar Eva.
Dengan bantuan sekitar 40 lebih relawan, Garda Pangan menyalurkan hampir 3.000 porsi makanan setiap bulan. Itu pun ikut dibantu relawan tidak tetap. Jumlahnya sekitar empat orang setiap hari. Garda Pangan sengaja membuka kesempatan seluas-luasnya lantaran tingginya animo masyarakat untuk berpartisipasi.
Walau begitu, kegiatan mereka bukannya tanpa kendala. Eva mengakui bahwa semakin bertambahnya jumlah nasabah yang menyetorkan makanan, kebutuhan akan fasilitas pendukung pun kian urgen. "Kalau SDM sebenarnya berlebih, fasilitas dan infrastruktur yang sebenarnya paling menjadi tantangan," tuturnya.
Fasilitas yang dimaksud yaitu mobil pengantar makanan, kertas pembungkus makanan, hingga sarung tangan plastik bagi relawan. Barang-barang inilah yang paling menyedot biaya paling besar dari keseluruhan aktivitas komunitas ini. Sedangkan, pembiayaan sehari-hari yang mengandalkan donasi dari masyarakat dan anggota sendiri.
Tapi toh, hal ini tidak membuat Garda Pangan patah arang. Eva mengatakan donasi yang masuk ke komunitasnya selama ini selalu tetap ada dan bisa mendukung kegiatan mereka. Mereka membuka crowdfunding untuk kegiatan mereka melalui situs kitabisa.com. Bahkan baru-baru ini, sekelompok industri kreatif di Surabaya menyumbangkan 10 persen dari penjualan pada Juni untuk keperluan operasional di Garda Pangan.
Atas kerja keras ini, Garda Pangan berhasil mendapat pengakuan luas dari masyarakat. Dikutip dari laman resmi, gardapangan.org, sejumlah penghargaan telah berhasil disabet. Di antaranya yaitu Startup with Best Social Impact di tahun 2017 dalam TEMPO Startup Awards, Top 20 Asean Young Sociopreneur Program, hingga Top 25 Startup in Telkom Sociodigi Leader 2017.
Dari seluruh capaian mereka saat ini, Eva mengatakan bahwa Garda Pangan tetap ingin agar kegiatan mereka di Surabaya bisa berlangsung dengan lancar dan bisa bertahan. Lalu setelah kesadaran akan pentingnya food bank semakin meluas, barulah Garda Pangan melangkah menjadi sebuah social enterprise. "Ini lagi digodok," kata dia.
Garda Pangan pun, kata Eva, juga berkeinginan agar advokasi mereka ke Pemerintah Kota Surabaya bisa berhasil.
"Sampai sekarang belum nembus," ujar Eva sembari tertawa.
Sejumlah advokasi ke Pemerintah Kota kerap didisposisi ke dinas yang tidak berkaitan langsung dengan aktivitas mereka.
Advokasi tersebut bukan tanpa alasan. Eva menilai kegiatan Garda Pangan sejalan dengan visi dari kota yang dipimpin oleh Tri Rismaharini ini. Menurut dia, ada peraturan daerah di Surabaya yang memberikan insentif pajak untuk bisnis makanan yang berkomitmen mengurangi sampah makanan. Ini tentu menjadi pemicu yang baik agar semakin banyak nasabah Garda Pangan yang ikut menyumbangkan makanan sisa mereka. "Nah, ini yang kami ingin dorong, implementasi dari aturan ini," tutur Eva.
DINI PRAMITA | ARTIKA RACHMI