Pekerja memilih telur untuk dijual di sebuah agen penjualan di kawasan Manggarai, Jakarta, 27 Maret 2017. Pemerintah dinilai lamban mengatasi kondisi kelebihan pasokan ayam hidup dan telur ayam. Tempo/Tony Hartawan
TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Umum Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat Indonesia (Pinsari) Singgih Januratmoko mengatakan ada banyak penyebab harga telur melonjak beberapa hari terakhir. Salah satunya adalah masih banyaknya kasus kematian akibat penyakit 90/40 yang menyerang ayam petelur di Indonesia.
"Kasus ini sudah lebih dari dua tahun tidak bisa diatasi," kata Singgih kepada Tempo, Rabu, 11 Juli 2018.
Penyakit 90/40 merupakan istilah yang sering dipakai di kalangan peternak untuk menjelaskan turunnya angka produktivitas ayam petelur. Misalnya, dari kapasitas produksi semula sebanyak 90 persen dari total populasi, produksi tercatat menurun drastis menjadi 40 persen.
Beberapa hari terakhir, harga telur ayam di Jakarta misalnya telah mencapai Rp 28 ribu hingga Rp 30 ribu per kilogram. Adapun berdasarkan situs hargapangan.id per Rabu, 11 Juli 2018, harga telur ayam di Jakarta mencapai Rp 28.650 per kilogram. Sementara itu, secara nasional harga rata-rata telur ayam tercatat mencapai Rp 26.900 per kilogram.
Singgih menyatakan penyebab naiknya harga telur juga disebabkan karena masih banyaknya ditemukan kematian pada ayam sebelum masa produktifnya. Atawa dalam peternakan dikenal istilah starter grower memiliki tingkat kematian yang tinggi.
Kemudian, Singgih menyebutkan bahwa naiknya harga telur juga disebabkan harga bibit ayam petelur tinggi.
Selain itu, sejak 2015, impor bibit ayam impor ayam petelur masih minim karena di bawah 30 ribu ekor per tahun. "Belum lagi harga impor pakan ayam yang terdampak melemahnya rupiah terhadap dolar Amerika juga mempengaruhi (kenaikan harga telur)," kata dia.