TEMPO Interaktif, Jakarta:Produsen tabung dan kompor menyatakan tidak sanggup menyediakan tambahan tabung dan kompor segera, mengikuti keputusan pemerintah untuk mempercepat program konversi minyak tanah ke Liquified Petroleum Gas (elpiji).Pemerintah telah memutuskan, program konversi minyak tanah ke elpiji dipercepat rampung pada 2010. Semula, program ini ditargetkan selesai 2012. Percepatan ini untuk meminimalkan dampak lonjakan harga minyak dunia yang sempat tembus US$ 90 per barel. Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Ari Sumarno menuturkan, kemampuan pasok para produsen itu hanya 5 juta buah untuk tahun ini, sehingga masih terdapat kekurangan. "Kurangnya sekitar 1 juta buah," kata Ari di Jakarta, kemarin. Dia menjelaskan, telah memobilisasi para produsen tabung LPG dan kompor. Kendala yang dihadapi produsen, kata dia, adalah kecepatan produksi, meskipun sudah operasional 24 jam. Problemnya, infrastruktur mereka tak mendukung untuk penambahan kapasitas produksi. Investasi untuk penambahan infrastruktur pun membutuhkan waktu minimal dua bulan maksimal 2 tahun. "Produsen tidak mampu," ucapnya. Pertamina akan mengadakan pertemuan dengan para produsen dan Departemen Perindustrian untuk mengatasi masalah kemampuan pasok tersebut. Sementara untuk infrastruktur Pertamina sendiri seperti tangki timbun LPG, Ari menyatakan siap. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro mengatakan akan membahas langkah-langkah percepatan program konversi minyak tanah ke LPG dari lima tahun menjadi tiga tahun dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla dan Menteri Koordinator Perekonomian Budiono. Menurut Purnomo, kalau program konversi minyak tanah tersebut dipercepat dan berhasil, akan ada penurunan subsidi sekitar 50 persen atau sekitar Rp 20 triliun. "Dengan catatan LPG masuk, minyak tanah ditarik," ujarnya. Purnomo menilai, yang paling besar dalam subsidi BBM adalah subsidi minyak tanah. Alasannya, negara harus menanggung Rp 4.000 per liter. Minyak tanah bersubsidi dijual dengan harga Rp 2.000 per liter padahal harga keekonomian Rp 6.000 per liter. "Sebetulnya disparitas (harga) terbesar minyak tanah sehingga subsidi separuh dimakan minyak tanah," kata Purnomo. Saat ditanya soal kemungkinan perubahan anggaran akibat percepatan program konversi minyak tanah, Purnomo tidak menjawab secara tegas. "Kan ada implikasinya," jawabnya. Dirjen Minyak dan Gas DESDM Luluk Sumiarso menuturkan, permintaan percepatan konversi minyak tanah dari 2012 menjadi 2010 merupakan pernyataan politis. "Itu kan political statement (pernyataan politis), kami sebagai bawahan akan mengikuti," kata Luluk. Menurut Luluk, perubahan target konversi menyebabkan perubahan pada anggaran. Namun, dia belum bisa mengungkapan jumlah perubahan pada anggaran, jumlah pasokan tabung dan kompor serta target yang mesti dicapai setiap tahun. "Dari lima tahun dipercepat jadi tiga tahun tentu ada penambahan tabung dan kompor," katanya. Namum, menurut Sekretaris Jenderal Departemen Keuangan Mulya Nasution mengatakan, percepatan konversi minyak tanah ke gas tidak mempengaruhi anggaran negara."Itu masalah teknis pelaksanaan saja yang dipercepat, sementara beban dalam anggaran tidak berubah," kata Mulya. Dia menjelaskan, pengaruh konversi itu sudah diperhitungkan sebelumnya termasuk jumlah subsidi minyak tanah yang harus ditanggung pemerintah. Selain itu, lanjut dia, pemerintah juga telah mengalokasikan dana untuk pelaksanaan konversi. "Kenaikan harga minyak sementara ini belum berpengaruh," ujarnya. l Nieke Indrietta | Eko Nopiansyah
Selain karena anggaran yang telat turun, proyek converter kit batal juga karena keterbatasan Stasiun Pengisian Bahan Bakar Gas (SPBG) yang baru dibangun.