TEMPO.CO, Jakarta -Forum Lintas Asosiasi Pengguna Gula Rafinasi mengadukan masalah kebijakan lelang gula kepada Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Menurut Juru Bicara Forum tersebut, Dwiatmoko Setiono, KPPU bakal membahas persoalan ini dalam sidang komisi pekan depan.
"KPPU akan mempelajari semua. Tujuannya untuk pencegahan dampak praktik oligopoli maupun monopoli," tutur Dwi kepada Tempo, Rabu, 14 Februari 2018.
Pelaksana Tugas Kelompok Ahli KPPU Muhammad Reza memastikan lembaganya bakal memeriksa seluruh laporan. "Kalau soal lelang gula, berarti pemeriksaannya soal kebijakan. Menurut Undang Undang Nomor 5 Tahun 1999 kami berwenang," katanya.
Kewajiban lelang gula termuat dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 16 Tahun 2017 tentang Perdagangan Gula Kristal Rafinasi Melalui Pasar Lelang Komoditas. Seluruh produsen dan konsumen gula harus mendaftar di pasar lelang yang dikelola PT Pasar Komoditas Jakarta (PKJ). Sampai saat ini, ada 11 produsen dan sekitar 2.000 konsumen gula yang tercatat di PKJ.
Dwi menganggap produsen gula yang jauh lebih sedikit dibanding penggunannya membuat struktur pasar menjadi oligopoli. Selain itu, pembatasan transaksi hanya melalui pasar lelang oleh satu perusahaan disebut Dwi sebagai monopoli. Dia menilai kondisi ini berisiko menciptakan kartel harga dan paskokan.
Asosiasi khawatir, jika pemerintah tidak merevisi kebijakan, perdagangan
gula rafinasi yang ilegal akan bermunculan. Pasalnya, sebelum aturan ini berlaku, pemerintah membebaskan perdagangan gula rafinasi sesuai kesepakatan penjual dan pembeli. "Lelang justru menciptakan masalah baru, yang tadinya perdagangan gula rafinasi legal banyak menjadi ilegal," tutur Dwi.
Kepala Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi Bachrul Chairi mengatakan pengaduan asosiasi ke KPPU justru bisa mengukuhkan kebijakan lelang gula. Sebab, menurut Bachrul, perdagangan bebas sebelumnya membuat pelaku industri makanan dan minuman yang menjadi penguasa pasokan gula rafinasi.
"Justru mereka yang melakukan oligopsoni. Bahkan mereka menguasai raw sugar, padahal tidak punya izin impor," ucap Bachrul, kepada Tempo.
Bachrul mengemukakan lelang gula bertujuan untuk melindungi industri pegguna gula skala kecil. Pasalnya, penguasaan pasokan membuat industri jenis ini kesulitan mendapatkan gula. Sementara industri besar justru merembeskan gula ke pasar. Angkanya mencapai 500-800 ribu ton per tahun.
Lelang juga membuat transaksi gula lebih transparan. Sebab, untuk menjadi peserta, perusahaan harus menyetor nama, alamat, nomor pokok wajib pajak, kapasitas produksi, alamat gudang, serta salinan izin usaha industri. Pemerintah juga mewajibkan calon peserta menyetor kontrak jual-beli gula bagi perusahaan yang sudah mengikat janji dengan pemasok.
Selama pendaftaran, kata Bachrul, dia menyebut banyak calon peserta yang ogah menyetor data dengan alasan kerahasiaan. Bahkan beberapa peserta justru melampirkan kontrak yang sudah kadaluwarsa. Dia menyatakan perusahaan yang bandel tidak boleh mengikuti lelang. "Kalau tidak dibatasi, berarti sistemnya sama saja (dengan yang lama)."
Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita mengklaim lelang gula bebas dari praktik oligopoli. "Jika ada, izin impornya pasti saya cabut."