TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita mengatakan bahwa ada potensi rembesan (kebocoran) gula rafinasi sebesar 500 ribu ton. Potensi rembesan tersebut, kata Enggar, berasal dari gula rafinasi industri tetapi justru dijual untuk pasar retail domestik.
“Ada 300 ribu ton, dan terakhir ini ada 500 ribu ton potensi kebocoran. Dari mana, ternyata ada satu perusahaan yang marah besar karena dia punya empat kontrak pembelian gula ke pabrik. Nyatanya yang dia butuhkan cuma satu, tiga dibocorkan,” kata Enggar di Gedung Tempo, Jumat, 9 Februari 2018.
Baca: Ombudsman Kaji Aturan Lelang Gula Rafinasi
Oleh karena itu, menurut Enggar, untuk mengurangi potensi kebocoran tersebut, pengaturan skema lelang gula menjadi penting. Skema lelang gula tersebut juga dianggap mampu menurunkan harga gula rafinasi. “Kalau kami lihat dengan cara bidding (lelang) pasti akan reduce cost (harganya turun) dan menurut saya itu transparan,” kata dia.
Meski demikian, Enggar mengatakan hingga sekarang skema lelang gula ini masih dalam tahap uji coba. Pihaknya ingin melihat sampai sejauh apa proses lelang gula ini bisa berjalan. Ia juga belum bisa memastikan kapan lelang gula ini bisa diterapkan secara resmi.
Pada 23 Januari 2018 lalu, Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) telah mengelar uji coba lelang gula rafinasi. Kepala Bappebti, Bachrul Chair mengatakan dalam lelang gula ini hingga 22 Januari tercatat jumlah peserta sudah mencapai 1.784 peserta jual dan beli.
Menurut Bappebti bahwa sudah ada sebanyak 3.265 ton jumlah gula yang didaftarkan. Harga yang gula yang dilelang, kata dia, rata-rata mencapai Rp 8.911 per kilogram. Bahkan dalam periode lelang 15-22 Januari 2018 sudah ada 1.140 ton yang dijual lewat mekanisme ini
Sebelumnya, lelang gula ini menuai banyak kritikan terutama di kalangan pengusaha khususnya IKM/UKM. Bahkan menurut Apindo lelang gula rafinasi ini dianggap menyalahi administrasi peraturan. Sebab, skema lelang terhadap komoditas hanya bisa dilakukan jika dilandasi dengan peraturan presiden (Perpres) bukan peraturan menteri (Permen).