TEMPO,CO, Jakarta - Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Sauhasil Nazara mengatakan terdapat beberapa hal yang perlu dilakukan setelah kebijakan
tax amnesty. Sedikitnya terdapat empat hal yang harus diperbaiki, yaitu sumber daya manusia, teknologi informasi atau IT sistem, memperbaiki bisnis proses, dan memperbaiki kebijakan.
"Jumlah uang yang didapat dari
tax amnesty sebesar 1,1 persen dari
GDP(Produk Domestik Bruto),. Cukup tinggi dari negara-negara lain. Tapi jumlah peserta
tax amnesty tidak sampai satu juta npwp(nomor pokok wajib pajak) di negara dengan penduduk 261 juta penduduk. Artinya pekerjaan rumah masih banyak," kata Sauhasil saat memaparkan materi di Plaza Mandiri, Senin, 30 Oktober 2017.
Sauhasil mengatakan sebelum mengadakan tax amnesty (TA) hingga saat ini pemerintah mendapatkan tantangan, yaitu terus menurunnya tax ratio sejak lima tahun terakhir.
"Dulu di awal waktu pertama (tax ratio) turun 2011-2012 kita bilang itu gara-gara harga komoditas, harga batubara, harga minyak, karena turun maka penerimaan turun. Ada efek akhirnya sektor lain kena. Waktu turun itu kita terus menyalahkan harga komoditas. Pada 2015-2016 harga komoditas flat. Namun tax ratio juga terus turun," kata Sauhasil.
Menurut Sauhasil melihat hal tersebut, yang salah belum tentu harga komoditasnya, namun cara atau kemampuan mengumpulkan pajak aja yang tidak benar. "Sistem kita itu ada yang tidak pas," kata Suahasil.
"Tax ratio di atas 10,4 itu oke. karena itu titik 10,4 kemarin menjadi titik paling bawah, tapi kalau masih meluncur terus di bawah 10,4 berarti belum ketemu titik bawahnya. Ini merupakan pekerjaan rumah besar kita," kata Sauhasil.
Namun, kemudian pemerintah meminta infrastruktur diperbaiki, perlindungan sosial, dan pengeluaran untuk ditransfer ke daerahnya ditambah. "Terus duitnya dari mana? (Padahal) Itu juga pemerintah sudah menahan supaya stok utangnya tidak naik terlalu cepat, jangan sampai di atas 30 persen dari GDP (Produk Domestik Bruto), sudah ditahan," kata Sauhasil.
Ia mengatakan defisitnya dua tahun terakhir agak membesar, tapi tahun depan akan pemerintah tahan lagi defisitnya dengan tujuan memperbaiki Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atay APBN secara keseluruhan. "Ini dilematis. kebutuhan ada, tax tidak terkumpul," kata Sauhasil.
Sauhasil menilai untuk menumbuhkan tax ratio sangat sulit, tapi kalau menumbuhkan belanja itu relatif lebih mudah. "Tapi kemudian siapa yang bayar? Bagaimana kalau kita naikkan tax ratio? Estimasi kami saat ini 2021 itu kalau kita bisa dapat tax ratio 13-14 persen dari PBD itu sudah luar biasa," ujar Sauhasil.
Ia menilai tantangan jangka menengah itu ada, sementara Indonesia menghadapi situasi jangka pendek di mana, tax ratio turun terus. "Karena itu kami menganggap sistem harus diperbaiki," kata Sauhasil.
Dilihat dari kebijakan atau policy yang besar adalah Pajak Penghasilan atau PPh dan Pajak Pertambahan Nilai atau PPN. Sauhasil menilai realisasi Indonesia masih jauh di bawah potensinya. Ia mengatakan ruang untuk mendapatkan pajak itu memang masih cukup ada.
"Di PPH dia lebih besar gapnya itu dibandingkan di PPN. Kedua-duanya biasanya tidak boleh lepas dari ekonomi makro, karena ada transaksi maka ada PPN," kata Sauhasil.
Menurut Sauhasil PPN kalau dilakukan dengan benar, maka nilai pajak akan sama dengan penjualan barang akhir. Suahasil melihat dari 2013 turun, bukan tidak ada transaksi, tapi ada sesuatu.
Menurut Sauhasil di PPH juga bukan potensinya yang turun. "Gimana mau turun, ekonominya masih tumbuh, meskipun tumbuh 5 persen, kita juga pernah 6 persen, belakangan tahun 2015 4,8 lalu menjadi 5 persen. Ekonomi tumbuh ko ngumpulin pajaknya turun?" ujar Sauhasil.
Ia mengatakan itu bukan berarti perekomonoian yang lesu, namun cara gumpulin pajaknya yang ada masalah.
"Idealnya kalau mau memberikan Intensif bukan melalui PPN, tapi melalui PPH. Supaya PPN bisa cepat ke atas. Tapi Undang-undang kita ada yang bisa membebaskan PPN. Kedua adalah restitusi lamban," kata Sauhasil.
Sauhasil menilai Indonesia tidak seharusnya bersaing dengan negara lain dalam konteks ini. Malah menurutnya tax competition biasanya tidak baik. "Kita punya kebutuhan dan kebutuhan kita berbeda dengan negara lain," kata Sauhasil.
Menurut Sauhasil untuk masyarakat awam tax code Indonesia dibilang sangat rumit atau sangat susah, tax administrasi sistemnya juga rumit. "Tapi jangan salah setiap perusahaan ada orang yang selalu bisa mencari celah itu, 'jalan tikus' di antara peraturan-peraturan itu," kata Sauhasil.
Ia melihat pemerintah juga kadang terlambat, seperti caranya sudah berkembang dengan pesat, tapi celah yang udah ketahuan tidak ditutup. Oleh karena itu 2016 itu dipikirkan untuk adanya TA.
"Jadi TA dipakai untuk meng-clear-kan(menetralkan) kondisi-kondisi di masa lalu. Menetralkan situasi supaya dia(perusahaan/wajib pajak) putih. Dengan harapan ke depan complete," kata Sauhasil.
Pada saat yang bersamaan menurut Sauhasil, TA kemarin diharapkan dapat memperbaiki atau meriset hubungan antara wajib pajak dengan sistem pajak.
HENDARTYO HANGGI