TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Rizal Ramli menyayangkan mineral yang terkandung di Indonesia lebih banyak dikuasai asing. "Kamis dikasih kesempatan emas dalam bentuk mineral, tembaga, emas, batubara, nikel dan timah. Itu semua, kecuali batu bara, kebanyakan dikuasai asing dalam bentuk kontrak karya," kata Rizal Ramli saat Dies Natalis Universitas Jayabaya ke 57 di Jakarta, Kamis, 8 Oktober 2015.
Menurut Rizal Ramli, cadangan emas dan tembaga Indonesia yang dikuasai perusahaan asing itu mencapai hingga 30-40 tahun. Banyak pula kontrak karya yang akan selesai dalam lima hingga 10 tahun lagi.
Menurut Rizal, seharusnya negara bisa memanfaatkan sumber daya mineral memberikan faedah besar bagi rakyat dan bangsa Indonesia. Rizal menyebut perusahaan tambang asal Amerika Serikat, PT Freeport Indonesia, sebagai salah satu dari tiga tambang emas dan tembaga terbesar di dunia yang beroperasi di Papua.
"Tapi rakyatnya sangat miskin karena Freeport hanya bayar royalti 1 persen untuk emas. Di seluruh dunia, royalti emas itu 6-7 persen," kata Rizal.
Rizal Ramli menambahkan, perusahaan tambang itu juga dinilai seenaknya membuang limbah galian yang mengandung merkuri ke sungai, sehingga ikan-ikannya mati. Menurut dia, kalau saja perusahaan itu menerapkan tata kelola perusahaan yang baik, tentu tidak sulit memproses limbah itu supaya tidak mencemati lingkungan.
"Tapi karena greedy (rakus), enggak mau bayar, ditambah payung hukum lemah. Padahal di negaranya sendiri, kalau merusak lingkungan hidup seperti di Teluk Meksiko, bayar dendanya puluhan miliar dolar AS," katanya.
Rizal meminta mental pejabat negara bisa diubah untuk mendorong perbaikan tata kelola sumber daya alam, termasuk mineral. Menurut dia, mental pejabat yang bisa diajak bernegosiasi untuk menghindari pembayaran royalti yang lebih besar dan merugikan asing itulah yang harus dihapus.
"Ketimbang membersihkan limbah, perusahaan itu lebih memilih untuk bernegosiasi dengan pejabat, itu yang harus kita ubah," katanya. Rizal selanjutnya, juga menyindir teknis negosiasi kontrak yang seharusnya bisa mendorong perbaikan untuk negara.
"Undang-undang mengatakan kontrak baru bisa direnegosiasi dua-tiga tahun sebelum kontrak habis. Tapi ada pejabat yang kepengen 10 tahun sebelum habis sudah diputuskan. Pejabat tersebut enggak ngerti teknis negosiasi. Kita harus paham, makin kepepet, bargaining position (posisi tawar) kita makin tinggi sehingga kita bisa dorong term kontrak yang lebih baik buat bangsa," pungkasnya.
ANTARA