TEMPO.CO, Surabaya – Pernah mendengar Pecel Semanggi? Bagi yang pernah mencicipi makanan khas Surabaya ini, pasti teringat dengan sosok ibu-ibu yang memikul keranjang bambu besar lengkap berisi daun semanggi, adonan bumbu ketela dan kacang berbaur dengan petis udang. Berikut kerupuk puli berukuran sedang yang menggugah selera. Biasanya, mereka berangkat dari kawasan Surabaya Barat yang berbatasan dengan kabupaten Gresik, tempat tanaman semanggi masih banyak tumbuh.
Tapi, singkirkan dahulu gambaran ibu-ibu penjual semanggi stereotip itu ketika bertemu dengan Aminah, 37 tahun. Berkerudung hijau seperti daun semanggi, penjual semanggi satu ini tak tampak memikul dagangan. Sesekali ia cukup mengecek pesanan melalui ponsel cerdasnya. “Saya bersyukur, karena zaman sekarang kalau mau jualan sudah makin mudah,” ujarnya, Rabu 9 September 2015.
Ditemui di rumahnya, Tempo menggali kisah Aminah, seorang penjual pecel semanggi secara online. Ia adalah pemenang Pahlawan Ekonomi, sebuah program yang diluncurkan Pemerintah Kota Surabaya sejak tahun 2010 guna membina pelaku Usaha Kecil, Menengah, dan Mikro (UMKM) di kalangan ibu rumah tangga. “Saya ikut Pahlawan Ekonomi sejak tahun 2010, waktu itu belajar usaha budidaya jamur tiram. Lalu baru tahun 2011 aktif berjualan semanggi,” katanya.
Meski baru mencoba merintis berjualan semanggi, sejatinya ia sudah akrab dengan panganan satu itu sejak kecil. Mayoritas warga di kampungnya di kawasan Sawo, Kelurahan Sambikerep, berprofesi sebagai penjual pecel semanggi. “Sejak masih sekolah saya sudah biasa membantu ibu saya berjualan semanggi. Nenek saya juga begitu.”