TEMPO Interaktif, Jakarta:Program privatisasi perusahaan-perusahaan milik negara dinilai salah arah. Ekonom Tim Indonesia Bangkit Fadhil Hasan mengatakan, kesalahan itu terlihat jelas ketika hasil privatisasi digunakan untuk menutup defisit anggaran."Tidak selayaknya hasil privatisasi dicantumkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara karena hasilnya tidak akan maksimal," kata Fadhil dalam diskusi bertema Menanti Perubahan Kebijakan Ekonomi di Jakarta, Minggu (25/2). Pernyataan Tim Indonesia Bangkit ini berkaitan dengan rencana pemerintah menambah kuota penjualan perusahaan negara tahun ini sebesar Rp 1 triliun dari Rp 3,3 triliun menjadi Rp 4,3 triliun. Turut hadir dalam diskusi ini adalah Iman Sugema, Binny Buchori, Hendri Saparini, Hendrawan Supratikno dan Ichsanuddin Noorsy. Sebenarnya, kata Fadhil, ada saling beda pendapat di antara menteri Kabinet. Misalnya, ada menteri yang konsisten menginginkan privatisasi dalam rangka perbaikan kinerja Badan Usaha Milik Negara. Tetapi, ternyata ada pula menteri yang menginginkan privatisasi dan penjualan aset-aset milik negara untuk mengurangi peran negara dalam ekonomi hingga sekecil mungkin. "Kelompok ini ternyata menang dengan mengikat privatisasi dalam Undang-undang APBN," papar Fadhil. "Sehingga mau tidak mau privatisasi harus dilakukan karena sudah ditegaskan dalam undang-undang." Pada praktiknya, dia melanjutkan, program penjualan aset-aset negara dilakukan dengan harga sangat murah. Alasan meningkatkan efisiensi dengan menerapkan mekanisme pasar, menurut dia, hanyalah kampanye yang dilakukan untuk menutupi asing yang menguasai sumber-sumber ekonomi negara berkembang. AGUS SUPRIYANTO/KURNIASIH
HUT ke-126 BRI: Wujud Transformasi, Memberi Makna Indonesia
17 Desember 2021
HUT ke-126 BRI: Wujud Transformasi, Memberi Makna Indonesia
BRI melakukan tiga aksi korporasi besar yakni konsolidasi bank syariah Indonesia, peningkatan valuasi BRI Life mencapai Rp 7,5 triliun dan penambahan modal untuk pembentukan ekosistem ultra mikro.