Tolak Permintan JK Turunkan Bunga, Ini Alasan Bank Indonesia

Reporter

Kamis, 26 November 2015 21:28 WIB

TEMPO/Wahyu Setiawan

TEMPO.CO, Jakarta - Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) Mirza Adityaswara mengatakan alasan BI tidak meniru Amerika dan Eropa yang menurunkan suku bunga di saat perekonomian sedang melambat, ialah karena Indonesia menganut sistem devisa bebas sehingga sangat bergantung pada suplai valuta asing.

"Pada saat defisit ekspor impor barang dan jasa, yang defisit itu valas bukan rupiah, kan BI suku bunganya rupiah" kata Mirza dalam seminar proyeksi ekonomi Indonesia 2016 di kampus IPMI, Jakarta, 26 November 2015.

Ia menambahkan kepemilikan surat utang pemerintah saat ini 37 persennya didominasi oleh investor asing, yang otomatis transaksinya menggunakan dolar. "Jadi yang dibutuhkan negara ini valas," ujarnya.

Sebab itu, menurut dia, penting untuk menjaga arus modal yang masuk untuk mendanai APBN, korporasi dan perbankan dan dana tersebut tetap berada di dalam negeri serta tidak mudah keluar. Mirza menuturkan modal tersebut adalah gabungan dari PMA, portofolio dan utang luar negeri. "Tidak mungkin negara ini tumbuh tanpa ada modal dari luar negeri," ucapnya.

Sebelumnya, Wakil Presiden Jusuf Kalla meminta tingkat suku bunga kredit perbankan diturunkan. Menurut dia, saat ini tingkat suku bunga perbankan di Indonesia lebih tinggi dibandingkan di negara-negara lain seperti Malaysia dan Cina.

“Tingkat bunga Indonesia masih lebih tinggi dibandingkan negara sekitar, di Malaysia 5 persen, Indonesia 10 persen, kalah apalagi dengan Cina," kata Jusuf Kalla dalam Pertemuan Tahunan Bank Indonesia, di Jakarta, Selasa, 24 November 2015.

Mirza mengatakan dalam jangka panjang ada dua cara untuk mengurangi ketergantungan pada luar negeri. Pertama terkait portofolio, pemerintah harus membesarkan dana pensiun, asuransi dan reksadana agar mampu dominan membeli surat utang pemerintah.

Kedua, PMA yang masuk harus equity bukan berbentuk utang. Menurutnya saat ini banyak PMA yang masuk tetapi antara modal dan pinjamannya 1 banding 10, sehingga kewajiban PMA membayar bunga ke luar negeri membuat terjadinya defisit. "Dapat status dan faislitas PMA tetapi membayar ke luar negeri," tutur Mirza.

Karena itu terbit Peraturan Menteri Keuangan yang membatasi debt equity ratio akibat dari banyaknya yang berhutang besar dan memicu kerugian sehingga membuat laporan pajak dengan status rugi yang berujung tidak membayar pajak.

"Struktur permodalan PMA kita perlu diperbaiki, kebijakan pemerintah perlu ke arah sana," kata Mirza.

AHMAD FAIZ IBNU SANI

Berita terkait

Tak Hanya Naikkan BI Rate, BI Rilis 5 Kebijakan Moneter Ini untuk Jaga Stabilitas Rupiah

1 hari lalu

Tak Hanya Naikkan BI Rate, BI Rilis 5 Kebijakan Moneter Ini untuk Jaga Stabilitas Rupiah

Gubernur BI Perry Warjiyo membeberkan lima aksi BI untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah di tengah ketidakpastian pasar keuangan global.

Baca Selengkapnya

Bos BI Yakin Rupiah Terus Menguat hingga Rp 15.800 per Dolar AS, Ini 4 Alasannya

1 hari lalu

Bos BI Yakin Rupiah Terus Menguat hingga Rp 15.800 per Dolar AS, Ini 4 Alasannya

Gubernur BI Perry Warjiyo yakin nilai tukar rupiah terhadap dolar AS akan menguat sampai akhir tahun ke level Rp 15.800 per dolar AS.

Baca Selengkapnya

Inflasi April Hanya 0,25 Persen, BI Ungkap Pemicunya

2 hari lalu

Inflasi April Hanya 0,25 Persen, BI Ungkap Pemicunya

BI menyebut inflasi IHK pada April 2024 tetap terjaga dalam kisaran sasaran 2,51 persen, yakni 0,25 persen mtm.

Baca Selengkapnya

Rupiah Ditutup Menguat ke Level Rp16.185, Analis: The Fed Membatalkan Kenaikan Suku Bunga

3 hari lalu

Rupiah Ditutup Menguat ke Level Rp16.185, Analis: The Fed Membatalkan Kenaikan Suku Bunga

Data inflasi bulan April dinilai bisa memberikan sentimen positif untuk rupiah bila hasilnya masih di kisaran 3,0 persen year on year.

Baca Selengkapnya

Samuel Sekuritas: IHSG Sesi I Ditutup Mengecewakan, Sejumlah Saham Bank Big Cap Rontok

3 hari lalu

Samuel Sekuritas: IHSG Sesi I Ditutup Mengecewakan, Sejumlah Saham Bank Big Cap Rontok

IHSG turun cukup drastis dan menutup sesi pertama hari Ini di level 7,116,5 atau -1.62 persen dibandingkan perdagangan kemarin.

Baca Selengkapnya

Ekonomi NTB Tumbuh Positif, Ekspor Diprediksi Meningkat

4 hari lalu

Ekonomi NTB Tumbuh Positif, Ekspor Diprediksi Meningkat

Perkembangan ekonomi Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) 2023 tumbuh positif.

Baca Selengkapnya

Lagi-lagi Melemah, Kurs Rupiah Hari Ini di Level Rp 16.259 per Dolar AS

4 hari lalu

Lagi-lagi Melemah, Kurs Rupiah Hari Ini di Level Rp 16.259 per Dolar AS

Kurs rupiah dalam perdagangan hari ini ditutup melemah 4 poin ke level Rp 16.259 per dolar AS.

Baca Selengkapnya

Meski BI Rate Naik, PNM Tak Berencana Naikkan Suku Bunga Kredit

5 hari lalu

Meski BI Rate Naik, PNM Tak Berencana Naikkan Suku Bunga Kredit

PNM menegaskan tidak akan menaikkan suku bunga dasar kredit meskipun BI telah menaikkan BI Rate menjadi 6,25 persen.

Baca Selengkapnya

BRI Klaim Kantongi Izin Penggunaan Alipay

5 hari lalu

BRI Klaim Kantongi Izin Penggunaan Alipay

Bank Rakyat Indonesia atau BRI mengklaim telah mendapatkan izin untuk memproses transaksi pengguna Alipay.

Baca Selengkapnya

BNI Sampaikan Langkah Hadapi Geopolitik Global dan Kenaikan Suku Bunga

5 hari lalu

BNI Sampaikan Langkah Hadapi Geopolitik Global dan Kenaikan Suku Bunga

PT Bank Negara Indonesia atau BNI bersiap menghadapi perkembangan geopolitik global, nilai tukar, tekanan inflasi, serta suku bunga.

Baca Selengkapnya