TEMPO.CO, Surabaya - Nilai tukar rupiah yang ditransaksikan antarbank di Jakarta bergerak menguat pada Rabu pagi, 7 Oktober 2015. Rupiah menguat sebesar 256 poin menjadi Rp 13.985 dibandingkan posisi sebelumnya Rp 14.241 per dolar Amerika Serikat. Namun menurut ekonom, penguatan rupiah ini masih perlu diwaspadai karena dampak kebijakan yang bersifat jangka pendek.
“Jangan disikapi dengan senang-senang dulu, karena ini masih fluktuatif. Orang yang berfluktuasi dengan jual-beli dolar juga masih ada,” kata ekonom Institute for Development of Economics and Finance, yang juga Sekretaris Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia, Aviliani, kepada Tempo di sela acara Pra-Kongres ISEI XIX di Surabaya, 7 Oktober 2015.
Aviliani mengungkapkan paket kebijakan ekonomi ini bakal hanya memberikan dampak jangka pendek. Penguatan nilai tukar terhadap dolar juga dialami oleh penguatan mata uang lain di dunia, tak hanya Indonesia.
“Penyebab menguatnya rupiah kan, lebih karena global, semua mata uang dunia menguat. Jadi masih belum normal lagi. belum yakin dengan fundamental kita ini bisa terus menguat,” ujarnya.
Kebijakan pemangkasan pajak bunga deposito bagi devisa hasil ekspor (DHE) dalam menarik DHE yang disimpan di bank-bank luar negeri, kata Aviliani, juga belum menjamin stabilitas nilai tukar rupiah. “Memang ada respons terkait dengan DHE pajak 5 persen atau 25 persen akan diharapkan dana-dana bisa masuk. Tapi itu kan, butuh waktu. Kalau nanti sudah kebanjiran dolar, terus kita ngapain?”
Aviliani menilai, pemangkasan DHE harus diikuti dengan kebijakan-kebijakan lain guna meningkatkan dana masuk. Contohnya ialah dari kegiatan ekspor, sektor pariwisata, maupun sumber-sumber dana lain yang lebih besar. “Sebab dilihat dari fundamentalnya, kita cenderung keluar uang daripada uang masuk,” tuturnya.