TEMPO Interaktif, Jakarta:Tuduhan Amerika yang menyatakan Iran sedang membuat bom atom berpotensi melambungkan harga minyak jika tidak diselesaikan dengan baik. Harga minyak dunia yang tinggi dan berkepanjangan ini dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi dunia. Menurut Gubernur Organisasi Pengekpor Minyak (OPEC) untuk Indonesia, Maizar Rahman, Iran menyanggah membuat bom atom tapi menggunakan reaktor nuklirnya untuk pembangkit listrik. "Bila ketegangan Iran-Amerika memuncak dunia bisa kehilangan suplai 3 juta barel per hari,"kata Maizar Senin malam (17/10).Jumlah itu dapat bertambah menjadi 4 juta barel perhari mengingat Irak masih belum stabil. Selama ini Iran memproduksi minyak 4,2 juta barel per hari dan Irak 2,2 juta barel per hari. Kehilangan suplai 4 juta barel per hari ini, lanjut Maizar, tidak bisa dipenuhi oleh produsen baik OPEC maupun Non OPEC. "Non OPEC sudah berproduksi maksimum sedangkan OPEC hanya memiliki kapasitas cadangan 2 juta barel per hari," ujarnya.Dampak kekurangan suplai ini jelas dapat menimbulkan syok harga minyak baru yang lebih hebat dari efek topan Katrina dan Rita. Harga minya dunia akan meroket hebat dan berlangsung tahunan sehingga memperparah perekonomian dunia, terlebih negara berkembang seperti Indonesia.Harga minyak pada tingkat US$ 50 per barel saja dapat membuat angka pertumbuhan ekonomi negara berkembang turun 0,3 hingga 0,6 persen. Bagi negara maju angka penurunan hanya 0,1 hingga 0,3 persen saja karena telah mengembangkan energi alternatif. Bagi Indonesia hantaman tersebut membuat risiko sosial politik yang besar. Stabilitas semakin menurun dan akan menyulitkan perbaikan kondisi perekonomian. Muhamad Fasabeni
Pemerintah Didorong Segera Rampungkan Revisi UU Migas
3 Oktober 2017
Pemerintah Didorong Segera Rampungkan Revisi UU Migas
Pemerintah diminta segera mengambil sikap ihwal revisi Undang-undang Minyak dan Gas. Pengurus Serikat Pekerja Satuan Kerja Khusus Migas Bambang Dwi Djanuarto?menilai pemerintah kurang responsif dalam menyelesaikan revisi UU Migas.
Mengesahkan undang-undang baru sebagai pengganti atau revisi UU Minyak Bumi dan Gas (Migas) Nomor 22 Tahun 2001 adalah hal mendesak yang harus dilakukan pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla dan DPR pada akhir tahun ini. Mengingat undang-undang ini telah mengalami tiga kali uji materi Mahkamah Konstitusi (2003, 2007, dan 2012), di mana Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan pembatalan banyak pasal dari undang-undang tersebut.