TEMPO Interaktif, Jakarta:Tim Terpadu Pemantauan, Pengawasan dan Pengendalian Dampak Kenaikan Harga Serta Penyalahgunaan Penyediaan dan Pelayanan Bahan Bakar Minyak (Timdu BBM) mengusulkan pemberian warna pada minyak tanah bersubsidi. Alasannya perlu pengawasan akibat masih adanya perbedaan harga minyak tanah bersubsidi dengan non subsidi. Menurut Ketua Timdu BBM, Slamet Singgih, pewarnaan minyak tanah sebelumnya pernah dilakukan oleh Pertamina selama 1 tahun sejak Juli 2002 hingga Juli 2003. “Saat itu dipilih sebagai pilot project Jakarta,” kata dia, Jumat (14/10). Selama masa percobaan itu, lanjut Slamet, ada penghematan sebesar 101.812 kilo liter atau senilai Rp 106, 902 miliar. Sedangkan biaya untuk pengadaan pewarnaan minyak ini selama satu tahun hanya Rp 12 Miliar. Artinya, terdapat penghematan bersih Rp 105, 923 Miliar. “Namun program ini terhenti dengan alasan pembiayaan dan ada penolakan rencana ini oleh pejabat baru dengan alasan hanya menghambur-hamburkan uang saja,” ucapnya.Pewarnaan dirasa perlu karena untuk menghindari pengoplosan dengan bahan bakar minyak lain seperti premium, pertamax dan solar. Selain itu juga memudahkan pengawasan agar minyak tanah rumah tangga tidak digunakan oleh industri akibat masih adanya perbedaan harga. Saat ini harga minyak tanah untuk Rumah Tangga Rp 2000/ liter, sedangkan untuk industri mencapai Rp. 5600/ liter. “Penyelewengan dapat diketahui dengan cepat jika ada industri yang menggunakan minyak tanah rumah tangga,” tambahnya.Setelah pewarnaan minyak tanah ditiadakan Mei 2004, jelas Slamet, sejak bulan Juni 2005 Timdu BBM menemukan 11500 liter minyak tanah, 20460 liter solar dan 16000 MFO (sejenis solar) yang diselewengkan. “Ada kerugian negara sekitar Rp 2 miliar,” ujarnya. Muhamad Fasabeni