Seorang karyawan money changer menghitung uang kertas Rupiah, di Jakarta, 15 Desember 2014. Rupiah Indonesia pada 15 Desember merosot ke tingkat terendah terhadap dolar sejak krisis keuangan Asia 16 tahun yang lalu, karena pasar negara berkembang terpukul seiring kemajuan perbaikan ekonomi Amerika Serikat. Adek Berry/AFP/Getty Images
TEMPO.CO, Jakarta - Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Mirza Adityaswara mengatakan masyarakat tak perlu mengkhawatirkan pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat. Soalnya, kondisi itu tidak terlalu berdampak kepada anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) tahun ini, terutama dari sisi pembiayaan.
"Sistem APBN kita kan sudah berubah sejak awal tahun lalu. Bahan bakar minyak sudah tak lagi disubsidi. Jadi ketika dolar naik, nilai impornya tak akan ikut membengkak," kata Mirza di Jakarta, Kamis, 5 Maret 2015.
Mirza menjelaskan pada era sebelumnya salah satu komponen terbesar dalam anggaran negara adalah biaya impor BBM untuk subsidi. Dengan demikian, saat kurs dolar menguat, impor BBM akan lebih mahal dan pemerintah harus mensubsidi lebih mahal juga sehingga mempengaruhi APBN. "Sekarang Premium sudah tidak terlalu berdampak negatif pada APBN. Bahkan, sebenarnya penerimaan minyak kita jadi meningkat."
Kecilnya dampak pelemahan dolar terhadap anggaran negara itu, menurut Mirza, membuat sentimen pasar saham dan obligasi tak terlalu berpengaruh. "Pelaku pasar sudah lebih mengerti dan tak terlalu khawatir dengan beban subsidi BBM. Inilah yang harus lebih dipahami masyarakat," ujarnya.
Pada kurs transaksi di Bank Indonesia Rabu, 4 Maret 2015, kurs jual dolar AS mencapai Rp 13.028. Sementara hari ini, kurs jual dolar sudah menyentuh angka Rp 13.087. Di pasar, kurs tengah pada hari ini mencapai Rp 13.015.