Pengendara motor membeli bensin eceran di depan Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) yang kehabisan Stok di Jalan Veteran Selatan Makassar, Rabu (13/6). Belasan stasiun SPBU di Makassar sejak dua hari terakhir kehabisan BBM bersubsidi jenis premium karena tidak menerima pasokan dari Pertamina setempat. TEMPO/Hariandi Hafid
TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi, menilai pemerintah tidak serius dalam menentukan harga bahan bakar minyak (BBM). Pernyatan ini disampaikan Tulus menyusul penurunan harga bensin jenis premium dan solar lantaran anjloknya harga minyak mentah dunia. (Baca: Senin, Harga Bensin jadi Rp 6.600)
Tulus berujar, masyarakat kini hanya bisa pasrah menerima dampak kenaikan atau penurunan harga BBM yang fluktuatif. “Demonstrasi juga sudah berkurang, masyarakat mulai welcome,” ujar Tulus saat dihubungi Tempo, Jumat 16 Januari 2015.
Namun demikian, Tulus berujar, penurunan harga BBM belum tentu diiringi dengan turunnya harga kebutuhan pokok. “Efek domino belum bisa dikendalikan,” ujar dia. "Kesannya (penurunan harga) hanya main-main. Seolah-olah dijadikan paradoks saja." (Baca: Menteri Sofyan Berharap Harga Sembako Ikuti BBM)
Tulus menyarankan pemerintah lebih hati-hati dengan fluktuasi harga BBM. “Jokowi seharusnya bisa memanfaatkan momentum ini untuk merekonstruksi harga,” ujar dia. Menurut Tulus, pemerintah sebaiknya menetapkan harga keekonomian BBM tanpa terpaku pada harga pasar. Dengan begitu, masyarakat tidak gelisah akan naik turunnya harga BBM. “Jadi tidak usah ditentukan pasar,” kata dia.