TEMPO.CO,Jakarta – Direktur Eksekutif Asosiasi Televisi Lokal Indonesia Jimmy Silalahi berharap Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara mengubah sistem penyelenggaraan televisi digital. Sistem penyelenggaran televisi digital saat ini dinilai kurang memberikan rasa keadilan kepada televisi lokal tunggal dan berjaringan. “Kami yang sudah punya rumah sendiri dengan sistem sekarang dipaksa harus pindah dan menyewa kepada televisi besar,” katanya kepada Tempo, Kamis, 30 Oktober 2014.
Menurut Jimmy, baik asosiasi televisi lokal maupun jaringan Indonesia tidak menolak migrasi dari analog ke digital. Yang diprotes asosiasi adalah sistem yang diberlakukan. Sistem itu membagi dua penyelenggara televisi digital, yaitu penyelenggara multipleksing yang dikantongi grup media besar dan penyedia konten. (Baca: KPI Rampung Seleksi TV Digital)
Penyelenggara MUX mengantongi kanal digital yang dipakai untuk bersiaran. Mereka adalah grup media besar, yaitu Grup MNC (RCTI, Global TV, dan MNC TV), Grup Bakrie (TV One dan ANTV), Grup Trans Corp (Trans TV dan Trans7), Grup Elang Mahkota (SCTV dan Indosiar), Grup Rajawali (RTV, dulu bernama B-Channel), dan Grup Lippo (BSTV, salah satu produknya Berita Satu).
Televisi lokal sebagai penyedia konten tidak ada yang memiliki izin penyelenggaran MUX. Untuk bisa bersiaran, televisi lokal harus menyewa kanal digital kepada grup media besar. Inilah yang dianggap Jimmy menodai rasa keadilan.
Saat ini televisi lokal bisa bersiaran di frekuensi daerah. Namun, dengan sistem digital, frekuensi di daerah juga dikuasai oleh grup media besar yang bermarkas di Jakarta. Jimmy mengatakan MUX seharusnya diselenggarakan oleh negara. Desakan Asosiasi Televisi Lokal Indonesia untuk merevisi sistem penyelenggaran televisi digital menjadi salah satu laporan majalah Tempo berjudul “Jalan Terjal TV Digital” yang terbit pada Senin, 3 November 2014.