Petugas mengoprasikan selang Pertamax Plus di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) Pertamina kawasan Otista, Jakarta (26/8). Habisnya persediaan Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi di beberapa SPBU di daerah merupakan konsekuensi dari pengaturan kuota yang diterapkan. Tempo/Aditia noviansyah
TEMPO.CO, Jakarta - Rencana kenaikan bahan bakar minyak (BBM) yang akan dilaksanakan pemerintahan mendatang, memberikan ruang terbuka terjadinya praktek penguasaan ladang usaha stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) oleh milik asing. "Makanya saat kenaikan harga BBM, Jokowi harus berani pegang janji agar asing tidak menguasai SPBU lokal," kata mantan Menteri Keuangan Fuad Bawazier dalam diskusi Implementasi Ekonomi Politik Luar Negeri Rezim SBY terhadap Rezim Jokowi di Taman Ismail Marzuki, Senin, 29 September 2014. (Baca: KenaikanHargaBBM Bisa Hemat Anggaran Rp 55 Triliun)
Menurut Fuad, dinaikkannya harga BBM akan mendorong pemerintah mencabut subsidi untuk dialihkan kepada sektor lain. Padahal dalam sejarahnya, salah satu alasan pemberian subsidi adalah untuk menekan perusahaan asing agar tidak menguasai sektor usaha SPBU. "Omzetnya besar sekali, hingga triliunan rupiah," kata dia. (Baca: DPR: Penambahan Kuota BBM Belum Pernah Terjadi)
Pemberian subsidi minyak, tidak semuanya buruk. Salah satunya adalah membendung menjamurnya perusahaan minyak asing. Politikus Hanura ini mencontohkan bagaimana perusahaan semacam Total EP, Exxon Mobil, Chevron, Petronas, dan lainnya tidak sanggup bertahan lama akibat rendahnya nilai jual BBM lokal karena pemberian subsidi pemerintah. "Sekarang kalau dikembalikan ke pasar jelas kesempatan buat mereka" katanya. (Baca: Pemerintah Punya Rp 90 T Tambah Kuota BBM Subsidi)
Untuk mencegah praktek itu, Fuad berharap saat kenaikan harga BBM diteken, Jokowi berjanji pula tidak akan membuka keran bagi perusahaan asing. "Dampaknya besar sekali kalau sampai jatuh ke asing," ungkapnya.
Selain itu upaya penguasaan asing terhadap sektor migas pemerintah mulai dari hulu sampai hilir menjadi ancaman terbesar pemerintah mendatang. "Maunya mereka kan begitu, makanya desakannya naikkan BBM naikkan BBM agar pemerintah segera menaikkan," ungkapnya.
Salamuddin Daeng dari AEPI Jakarta menambahkan, pasca-dinaikkannya harga BBM, pemerintah harus berani menekan perusahaan asing agar bekerja sama dengan perusahaan milik Badan Usaha Milik Negara (BUMN), sehingga harga minyak tetap terjangkau masyarakat. "Jangan sampai mereka menguasai industri hulu migas," katanya.
Persoalan pelik di bidang migas yang dihadapi Indonesia tidak jauh beda dengan yang dihadapi Arab Saudi pada tahun 1970-an. Saat itu mereka berani melawan investor asing dan melakukan nasionalisasi di bidang migas. "Raja Faisal melawan agar NOC (National Oil Company) jangan jatuh ke asing meski taruhannya mati. Hasilnya sampai sekarang NOC menjadi terbesar dunia," ujarnya.