Seorang aktivis melakukan aksi memperingati kematian Lee Kyung Hae petani korea saat Konferensi WTO di Nusa Dua, Bali, (5/12). Lee Kyung Hae yang meninggal karena menusuk dirinya sendiri karena menolak konfrensi WTO ke-5 di Cancun, Korea. TEMPO/Johannes P. Christo
TEMPO.CO, Jakarta - Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO) memangkas proyeksi pertumbuhan perdagangan global dari semula 4,6 persen menjadi 3,1 persen tahun ini. Untuk tahun depan, lembaga internasional ini juga menurunkan proyeksinya menjadi 4 persen. (Baca: WTO: Paket Bali Ciptakan Keuntungan US$ 1 triliun).
Penurunan proyeksi ini, menurut Direktur Jenderal WTO Roberto Azevedo, terjadi karena permintaan global melemah. Pertumbuhan ekonomi global yang melambat ini berdampak pada permintaan. “Pertumbuhan ekonomi yang mengecewakan pada semester I tahun ini membuat lembaga-lembaga internasional menurunkan proyeksi pertumbuhan produk domestik bruto (PDB),” katanya dalam keterangan tertulis, Rabu, 24 September 2014, waktu setempat.
Azevedo mengatakan ketegangan politik yang terjadi di sejumlah kawasan dan pertumbuhan yang tidak merata memicu risiko perlambatan perdagangan global pada semester II tahun ini. Ketegangan di Ukraina telah mengganggu hubungan perdagangan antara Rusia dan Uni Eropa serta Amerika Serikat. “Kinerja ekonomi yang melamban di Amerika Serikat dan Jerman telah memperlemah permintaan impor global,” ujarnya. (Baca: Menang Sengketa WTO, Indonesia Dapat Penghargaan).
Aksi boikot sejumlah produk pertanian Rusia oleh Uni Eropa dan Amerika Serikat, setelah invasi ke Ukraina, berdampak negatif terhadap distribusi komoditas pertanian. “Konflik di Timur Tengah memicu ketidakpastian yang dapat menyebabkan harga minyak global melonjak dan dampaknya akan mempengaruhi pasokan,” kata Azevedo. (Baca: Direktur Jenderal WTO: Kegagalan Putaran Doha Sinyal Buruk Perdagangan).
Sementara itu, benturan antar-anggota WTO sering kali terjadi karena ketidakpuasan dan menjadikan badan internasional ini tempat untuk mengajukan gugatan. Sebagai negara anggota WTO, Indonesia pun tak luput dari gugatan yang diajukan negara lain.
Pada April 2014, Rusia memberikan notifikasi kepada WTO yang menyatakan syarat kadar peroksida minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO) dari Indonesia harus 0,9 persen saat sampai di Rusia. Negara itu menolak CPO asal Indonesia.
PINGIT ARIA | YOLANDA RYAN ARMINDYA| CHANNEL NEWS ASIA