Seorang pekerja sedang membersihkan rukun Senior Living di Babakan Madang, Sentul, Jawa Barat, (5/3). Rukun Senior Living merupakan tempat bagi para lanjut usia kelas menengah atas yang ingin menikmati hidup di masa tuanya. TEMPO/Seto Wardhana
TEMPO.CO , Jakarta - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan bahwa kelas menengah di Indonesia terus tumbuh hingga 8 juta orang per tahun. Menanggapi ini, Direktur Institute for Development of Economics and Finance Enny Sri Hartati justru khawatir jika kelas menengah ini meningkat tanpa diimbangi dengan pertumbuhan sektor riil.
“Konsumerisme tinggi, tapi industri dalam negeri tidak bisa memenuhi kebutuhan mereka ya sama saja,” ujar Enny saat dihubungi, Jumat, 15 Agustus 2014.
Menurut Enny, konsumerisme yang melekat pada kelas menengah ini justru patut diwaspadai. Sebab, mereka tidak dapat memenuhi kebutuhannya dengan produksi dalam negeri yang dinilai masih kurang. Sehingga, angka impor makin tinggi yang berimbas pada pertumbuhan defisit neraca perdagangan. (baca: SBY: KelasMenengah Tumbuh Delapan Juta Tiap Tahun)
Melihat hal ini, Enny mengharapkan pemerintah mampu memfokuskan perhatian pada sektor riil jika ingin meningkatkan pertumbuhan kelas menengah. Ia mencontohkan sektor produksi yang harus dikembangkan antara lain pertanian, industri, dan pertambangan. Jika sektor tersebut dikembangkan, maka akan menciptakan lapangan kerja, meningkatkan jumlah kelas menengah, dan menumbuhkan investasi. “Kalau sektor riil dikembangkan, maka kekhawatiran impor tinggi akan berkurang karena masyarakat dapat memenuhi kebutuhannya dengan produksi dalam negeri,” kata Enny.
Enny mengatakan bahwa selama ini pemerintah hanya berfokus pada perdagangan, keuangan, dan jasa yang berimbas pada kesenjangan sosial antara kaya makin kaya dan miskin makin miskin. Sehingga, menurut dia, antisipasi yang harus dilakukan pemerintah baru adalah memfokuskan pada kebijakan fiskal dengan memperkuat insentif atau fasilitas pada sektor produksi.