Ketua Umum MUI Sahal Mahfudz (kiri) dan Agus D.W. Martowardojo berjalan bersama menjelang peresmian Permata Bank Syariah Expo 2005 di Jakarta (11 Mei 2005). Almarhum akan dimakamkan hari ini pukul 09.00 WIB di kompleks pemakaman Mutamakin yang letaknya tidak jauh dari komplek Pondok Pesantren Maslakhul Huda di Pati, Jawa Tengah. TEMPO/Usman Iskandar
TEMPO.CO, Jakarta - Angka inflasi April yang berada pada level minus (deflasi) 0,02 persen diprediksi tak akan mengubah tingkat suku bunga acuan Bank Indonesia (BI Rate) di level 7,5 persen. Alasannya, kebijakan moneter ketat masih dibutuhkan untuk menjaga tingkat konsumsi masyarakat menjelang Ramadan dan pergantian tahun ajaran baru.
Ekonom dari BNI Securities, Heru Irvansyah, mengatakan BI Rate memang sebaiknya dipertahankan. Sebab, meskipun saat ini sedang terjadi deflasi, tujuan BI untuk memperbaiki neraca transaksi berjalan dengan mengurangi laju kredit harus tetap dilakukan. “Fokus utama kebijakan moneter sekarang masih perbaikan neraca berjalan,” katanya.
Bila BI Rate diturunkan, Heru pun khawatir hal itu dapat memicu peningkatan pemberian kredit. Kalau hal tersebut terjadi, diprediksi akan menyebabkan kenaikan bahan baku industri yang diimpor. Apalagi, menurut Heru, kebijakan BI Rate juga perlu mengantisipasi arah kebijakan moneter bank sentral Amerika Serikat (The Fed).
Meskipun pernyataan terbaru Gubernur The Fed Janet Yellen mengindikasikan akan mempertahankan suku bunga rendah, tapi data-data perekonomian AS yang terus membaik memberi peluang percepatan kenaikan suku bunga AS. “BI Rate perlu mempertimbangkan wacana kenaikan suku bunga The Fed,” ujarnya.
Senada dengan itu, ekonom dari PT Samuel Asset Manajemen, Lana Soelistianingsih, juga memperkirakan BI Rate kemungkinan tidak akan berubah. Menurut dia, faktor perbaikan fundamental perekonomian makro menjadi pertimbangan utama bagi Bank Indonesia untuk tetap mempertahankan BI Rate. “BI tentu akan memperhatikan kinerja neraca perdagangan dan cadangan devisa yang semakin membaik,” tuturnya.