Waduk Cirata salah satu tempat pengairan Waduk Ir. H Djuanda, Jatiluhur, Jawa Barat, Jumat (29/6). Hingga saat ini 62 persen air baku yang diolah oleh PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja) dari Waduk Jatiluhur mencapai 5.600 hingga 5.800 liter per detik. Suplai air yang diterima dari waduk Jatilihur tersebut masih belum dapat memenuhi kebutuhan dan permintaan pelanggan di sebagian wilayah Jakarta. TEMPO/Eko Siswono Toyudho
TEMPO.CO, Jakarta -Badan Perencanaan Pembangunan Nasional menyatakan Indonesia kekurangan waduk untuk menampung air. Akibatnya banjir pun terus melanda wilayah ini.
Menurut Deputi Sarana dan Prasarana Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, Dedy Priatna, kapasitas penampungan air di Indonesia masih sangat rendah, yaitu hanya 54 meter kubik per kapita per tahun. Padahal total kebutuhan minimal adalah 1.975 meter kubik. "Jadi itu alasan mengapa Indonesia banjir terus," kata Dedy.
Dia mencontohkan, Thailand yang merupakan negara kecil, cadangan airnya sudah mencapai 1.200 meter kubik. Sedangkan Amerika Serikat mencapai 6.000 meter kubik. "Di Indonesia, begitu musim hujan tinggi air tidak tertampung dan meluber kemana-mana," kata Dedy di kantor Bappenas, Jakarta, Kamis, 23 Januari 2014.
Dedy membantah jika pembangunan waduk tidak menjadi prioritas pemerintah. Pembangunan waduk, selama ini terkendala oleh besarnya biaya. "Kami pernah menghitung, kebutuhannya sekitar Rp 4.000 triliun untuk bisa mencapai kapasitas yang diinginkan," ujarnya.
Masalah juga terjadi pada pembebasan lahan dan tumpang tindih di area hutan. Apalagi hampir semua lokasi waduk berada di area kehutanan.
Bila pembangunan waduk tak ditambah, Indonesia akan berpotensi krisis air. Itulah sebabnya, dia melanjutkan, program ketahanan air akan masuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019.