BP Migas Berharap Mahkamah Konstitusi Tidak Batalkan UU Migas
Reporter
Editor
Sabtu, 18 Desember 2004 05:27 WIB
TEMPO Interaktif, Jakarta:Badan Pelaksana Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) berharap,Mahkamah Konstitusi tidak membatalkan (mencabut) Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. “Semestinya UU Migas tidak mengalami nasib yang sama seperti Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 Ketenagalistrikan” kata Kepala BP Migas Rachmat Sudibjo di Bogor.Menurut dia, UU Nomor 21 Tahun 2001 itu merupakan penyempurnaan dari undang-undang yang lama. UU Migas yang baru itu lebih rinci mengatur berbagai hal seperti kewajiban pasokan gas untuk kebutuhan dalam negeri bagi para kontraktor, mempertegas aturan-aturan perpajakan serta kewajiban kontraktor dalam kontrak bagi hasil, dan juga mengatur kontrak-kontrak gas secara lebih detail. “Dalam undang-undang yang lama hanya disebutkan bahwa hanya Pertamina yang diperbolehkan mengadakan kontrak bagi hasil dengan mitra swasta. Tapi hanya itu saja, sama sekali tidak diatur hal-hal lain,” katanya. BP Migas saat ini tengah menunggu keputusan Mahkamah Konstitusi yang akan menilai apakah UU Migas yang baru bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Menurut rencana, Mahkamah Konstitusi akan membacakan putusan pada Selasa (21/12). Rachmat menjelaskan, berbagai permasalahan di industri minyak dan gas bumi merupakan warisan undang-undang yang lama seperti masalah kelanjutan kontrak gas alam cair di Arun (Aceh) dan Bontang (Kalimantan Timur). “Kalau hanya melihat kulitnya, memang akan gampang memperoleh kesimpulan yang salah,” Rachmat, “Tapi saya pikir Mahkamah Konstitusi dapat melihat secara lebih luas permasalahan di industri migas ini.” Dia mengakui, dalam undang-undang yang baru diatur ketentuan perpajakan seperti mewajibkan kontraktor bagi hasil membayar langsung pajak penghasilan pada pemerintah. Pasal ini diberlakukan karena di masa lalu, biasanya kontraktor mengelak dari kewajiban itu dan meminta pemerintah untuk menagih pada pemerintah negara asal kontraktor tersebut. Kebijakan ini akhirnya menimbulkan efek domino pada kebijakan perpajakan yang lain. “Departemen Keuangan meminta pajak pertambahan nilai dibayar dimuka, tidak lagi ditunda setelah kegiatan produksi. Sedangkan Bea dan Cukai juga meminta bea masuk impor alat-alat berat juga dibayar di muka,” kata Rachmat. Akibat dari kebijakan itu, kontraktor menuding pemerintah melanggar kesepakatan dalam kontrak, karena pajak pertambahan nilai dan bea masuk dianggap sudah termasuk dalam penerimaan pemerintah dari pola bagi hasil yang disepakati. Pemerintah kemudian berjanji untuk mengembalikan dana pajak pertambahan nilai dan bea masuk yang telah dibayarkan. Kenyataannya, pengembalian itu memakan waktu jauh lebih lama daripada yang dijanjikan, sehingga jumlahnya terus membengkak. Seperti diberitakan sebelumnya, Mahkamah Konstitusi telah mencabut UU Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan. Alasannya, paradigma yang mendasari undang-undang itu bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945. Dalam kesimpulannya, hakim menyebutkan bahwa ketenagalistrikan merupakan cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak, sehingga cabang produksi itu haruslah dikuasai negara.Pengertian dikuasai negara, menurut Mahkamah Konstitusi, berarti negara tidak hanya menjadi pengatur ataupun pengawas tapi juga turut mengelola dan mengurus cabang produksi tersebut. Karena itu, hanya badan usaha milik negara yang masih dikuasai negara (mayoritas sahamnya dimiliki pemerintah) yang boleh mengelola cabang produksi itu agar bisa terjangkau oleh rakyat. Dara Meutia Uning-Tempo
Pemerintah Didorong Segera Rampungkan Revisi UU Migas
3 Oktober 2017
Pemerintah Didorong Segera Rampungkan Revisi UU Migas
Pemerintah diminta segera mengambil sikap ihwal revisi Undang-undang Minyak dan Gas. Pengurus Serikat Pekerja Satuan Kerja Khusus Migas Bambang Dwi Djanuarto?menilai pemerintah kurang responsif dalam menyelesaikan revisi UU Migas.