TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Komite Ekonomi Nasional (KEN) Chaerul Tanjung mengatakan langkah pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak pada tahun ini tak bisa meredam defisit transaksi berjalan. Menurut dia, dosis dan cara menaikkan harga BBM kurang tepat.
“Seharusnya kan, dengan kenaikan BBM terjadi penurunan demand, tapi penurunan hanya terjadi satu bulan setelah naik. Dosis dan caranya kurang pas,” kata Chaerul seusai acara Peluncuran Cetak Biru Strategi Nasional Literasi Keuangan Indonesia, di Jakarta Convention Center, Selasa, 19 November 2013.
Menurut dia, diperlukan langkah untuk menekan defisit transaksi berjalan dengan cara lain karena tidak mungkin harga BBM dinaikkan saat tahun pemilu. Dia mengapresiasi langkah pemerintah mengeluarkan aturan baru untuk meredam impor dan menggenjot ekspor.
Chaerul mengatakan, saat ini demand di Indonesia meningkat tajam karena jumlah penduduk bertambah dan kesejahteraan meningkat. Akibatnya, kebutuhan pangan, hasil industri dan energi juga mengalami peningkatan permintaan.
Ia mencontohkan produksi minyak mentah, yang tadinya 1,3 juta barel per hari, sekarang tinggal 900 ribu barel. Sedangkan permintaan pasar akan minyak mentah sangat tinggi.
Begitu pula untuk produk pertanian dan hasil industri. “Perlu reformasi yang berkelanjutan bukan cuma untuk insentif bersifat jangka pendek, tapi harus reformasi keseluruhan yang bersifat jangka panjang dan benar,” ujarnya.
Sebelumnya, pemerintah menyatakan akan menaikkan tarif pajak penghasilan (PPh) bagi pengusaha yang mengimpor barang konsumsi akhir dari semula sekitar 2,5 persen menjadi 7,5 persen. “Banyak barang impor yang kena. Kategorinya adalah barang konsumsi akhir yang tidak lagi dipakai untuk input produksi berikutnya,” kata Wakil Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro.
Kebijakan kenaikan tarif PPh pasal 22 itu merupakan satu dari dua beleid yang akan dikeluarkan Kementerian Keuangan pada akhir bulan ini. Tujuan kedua aturan itu pada intinya adalah meredam defisit neraca transaksi berjalan.
Bambang mengatakan aturan tersebut tidak berlaku untuk barang impor yang bisa memicu inflasi, terutama pangan. “Di luar itu (pangan), kami sesuaikan PPh impornya,” tuturnya. Sayangnya, ia tak mau merinci barang apa saja yang akan dinaikkan tarifnya.