Seorang model memperkenalkan produk terbaru PT Honda Prospect Motor, Honda Brio Satya dalam peluncurannya, di Jakarta, Rabu (11/9). PT Honda Prospect Motor meluncurkan tiga tipe mobil murah new Honda Brio Satya. TEMPO/Imam Sukamto
TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa mengatakan pengembangan mobil hemat energi dengan harga terjangkau (low cost green car/ LCGC) dibutuhkan untuk menjaga daya saing Indonesia dalam era pasar bebas.
"Mobil ini dibuat untuk menghindari banjir impor produk otomotif," kata dia saat menyampaikan jawaban atas hak bertanya Dewan Perwakilan Daerah (DPD) terkait kebijakan LCGC di Gedung Parlemen, Selasa, 19 November 2013.
Menurut Hatta, meningkatnya pertumbuhan ekonomi serta naiknya pendapatan per kapita masyarakat melambungkan kebutuhan mobil. Dengan mobil murah, kata Hatta, Indonesia berpeluang meningkatkan produksi dan memenuhi kebutuhan masyarakat. "Jika tidak diisi produk dalam negeri, mobil impor yang akan menguasai pasar," ujarnya.
Sektor otomotif, kata Hatta, adalah sektor yang akan menjadi prioritas dalam pasar bebas ASEAN pada 2015. Jika tidak mempersiapkan diri, Indonesia akan tertinggal dengan negara-negara pesaing seperti Thailand yang sudah memproduksi LCGC sejak 2012 sebanyak 140 ribu unit.
Di luar ASEAN, kata Hatta, banyak negara yang memproduksi LCGC, seperti Cina, Korea Selatan, dan Jepang. Karena itu, Indonesia dituntut bisa menjaga persaingan dalam industri otomotif regional dan internasional melalui inovasi dalam kebijakan LCGC.
Sidang paripurna ini merupakan jawaban pemerintah atas pertanyaan DPD. Hak bertanya tentang LCGC bermula dari tindakan anggota DPD asal Jakarta, Andi Mappetahang (AM) Fatwa, yang menggalang para senator untuk menanyakan alasan pemerintah mengeluarkan aturan tentang LCGC. Hasil penggalangan itu disampaikan pada Sidang Paripurna DPD tanggal 25 Oktober 2013, dan tercatat 96 senator meneken lembaran hak bertanya.
Fatwa mempertanyakan kebijakan LCGC mengingat wilayahnya terkena dampak parah. Mobil murah dinilai makin memperparah kemacetan lalu lintas. Selain itu memperburuk kualitas udara dan menurunkan derajat kesehatan masyarakat, selain kontraproduktif dengan kebijakan transportasi massal di kota besar yang belum memiliki moda transportasi publik yang terintegrasi.