Menko Perekonomian Hatta Radjasa (kiri atas) saat memimpin rakor tentang PT Indonesia Asahan Alumunium Indonesia (Inalum) yang dihadiri juga antara lain oleh Menkeu Agus Martowardojo (kanan), Menteri PU Djoko Kirmanto (kiri) di gedung Kementrian Koordinator Perekonomian, Jakarta Pusat, Jumat (3/8). ANTARA/Fanny Octavianus
TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Perindustrian, Mohamad Suleman Hidayat, mengatakan penandatanganan pengakhiran kerja sama PT Indonesia Asahan Alumunium (Inalum) yang rencananya dilakukan pada hari ini, Jumat, 25 Oktober 2013 bakal ditunda. Pasalnya, hingga kini belum ada persetujuan dari Komisi Keuangan dan Perbankan Dewan Perwakilan Rakyat terkait usulan pemerintah mengenai nilai buku yang mencapai US$ 558 juta.
Seharusnya, rapat kerja pengambialihan Inalum antara Menteri Keuangan dan Komisi XI itu dilakukan kemarin untuk mendapatkan persetujuan. Akan tetapi, rapat tidak kuorum sehingga harus ditunda.
"Sepertinya besok (hari ini) tidak jadi karena Menteri Keuangan dan Komisi XI yang harusnya sidang malam ini (kemarin malam), hingga jam 21.00 diundur karena tidak kuorum. Jadi, mungkin penandatanganan mundur satu-dua hari," kata Hidayat di Hotel J.W. Marriott, Kamis malam, 24 Oktober 2013.
Hidayat mengatakan pemerintah tidak akan mengusulkan perubahan apa pun dalam pengambilalihan Inalum. Nilai buku yang dipatok pun tetap sebesar US$ 558 juta.
Kini pemerintah tinggal menunggu keputusan Komisi XI apakah menerima usulan pemerintah terkait pengambilalihan Inalum. Hidayat mengatakan setelah persetujuan diraih, Indonesia akan mengatur waktu penandatanganan dengan Jepang.
Selasa lalu, Komisi VI DPR telah menyetujui keputusan yang diambil pemerintah terkait akuisisi Inalum. Salah satu butir kesimpulan adalah pemerintah daerah, dalam hal ini Pemerintah Provinsi Sumatera Utara dan pemerintah kabupaten/kota di sepanjang Danau Toba, boleh memiliki saham PT Inalum asalkan kepemilikan saham pemerintah pusat dipertahankan minimal 70 persen.
Proses akuisi Inalum oleh pemerintah Indonesia hampir dipastikan tidak menempuh jalur arbitrase setelah pemerintah, berdasarkan penghitungan BPKP dan Kementerian Keuangan, mengajukan nilai buku senilai US$ 558 juta pada pihak Jepang. Nilai ini merupakan salah satu opsi yang pernah ditawarkan BPKP dalam proses negosiasi.