TEMPO.CO, Jakarta - Melemahnya data ketenagakerjaan di Amerika Serikat membuat dolar kembali perkasa di pasar uang sehingga mengganjal apresiasi rupiah. Di transaksi pasar uang hari ini, rupiah tidak bergerak ke mana-mana dari level 9.750 per dolar AS.
Meski mata uang sempat tertiup katalis positif dari penguatan kembali euro ke level US$ 1,29, negatifnya data ekonomi Amerika kembali menguatkan posisi mata uang Abang Sam.
Data klaim pengangguran Amerika bulan Maret naik 28 ribu jiwa, di mana sehari sebelumnya data indeks manufaktur juga melemah.
Indikasi pelambatan ekonomi AS menjadi sentimen negatif yang membuat pelaku pasar enggan melepaskan dolarnya dan membeli mata uang berisiko. "Imbasnya, posisi dolar semakin kuat dan menyandera pergerakan rupiah di dalam negeri," kata Nurul Eti Nurbaeti, Head of Treasury Research Bank BNI.
Rupiah juga mendapat tekanan bertubi-tubi dari data-data ekonomi domestik yang cenderung negatif sepanjang pekan ini. Neraca perdagangan dan neraca pembayaran masih mengalami defisit. Tingginya impor semakin meningkatkan permintaan dolar oleh importir di dalam negeri.
Di sisi lain, pasar masih khawatir dengan tingginya inflasi bulan Maret sebesar 0,63 persen. Secara kumulatif, inflasi kuartal I 2013 merupakan yang tertinggi dalam dua tahun terakhir. Sementara itu, lelang sukuk yang ditawarkan tidak mampu mencapai target.
Menurut Nurul, posisi rupiah diselamatkan oleh Bank Indonesia (BI) yang tak pernah berhenti melakukan intervensi di pasar uang. Selain itu, asing masih percaya dengan ekonomi domestik. "Ditunjukkan dengan masih banyaknya dana asing yang masuk ke pasar modal," kata Nurul.
Hingga pukul 17.00 WIB, mata uang Asia cenderung melemah terhadap dolar AS. Dolar Singapura ditransaksikan di 1,2391 per dolar AS, dolar Hong Kong 7,7647 per dolar AS, won 1.131,69 per dolar AS. Kemudian yuan 6,2060 per dolar AS, dan ringgit 3,0570 per dolar AS.