TEMPO.CO, Jakarta - Minimnya likuiditas dolar di pasar domestik kembali memicu penguatan mata uang negeri Abang Sam sehingga nilai tukar rupiah semakin melemah.
Euforia penguatan sesaat mata uang regional terhadap dolar Amerika Serikat (AS) telah usai. Di transaksi pasar uang hari ini, nilai tukar rupiah turun 17 poin (0,17 persen) ke level 9.651 per dolar.
Head of Treasury Research Bank BNI, Nurul Eti Nurbaeti, mengatakan, tingginya permintaan yang tak diimbangi dengan ketersediaan dolar di dalam negeri kembali menjadi faktor penekan rupiah. “Minimnya likuiditas dolar membuat nilai tukarnya otomatis naik,” kata Nurul.
Pelaku pasar, khususnya eksportir, masih enggan menjual dolar mereka. Di sisi lain, imbas dari defisit neraca perdagangan 2012 masih menyeret rupiah ke pusaran depresiasi dan sulit untuk menguat. Di pasar Singapura, rupiah ditransaksikan di kisaran 9.850 per dolar.
Dari eksternal, isyarat bahwa Bank Sentral Amerika (Federal Reserve) akan segera mengakhiri stimulus moneternya pada tahun ini turut menjadi faktor penghambat rupiah. “Diakhirinya stimulus pembelian obligasi senilai US$ 40 miliar per bulan akan membatasi modal asing yang masuk ke pasar berkembang,” Nurul menambahkan.
Dalam pidatonya kemarin, Kepala Federal Reserve Ben Bernanke kembali menyinggung adanya pemulihan ekonomi di Amerika Serikat. Hal itu didasari alasan mulai naiknya harga aset-aset berjangka, seperti perumahan di AS serta angka pengangguran yang turun ke level 7,8 persen.
Meski ada sentimen positif dari penyerapan dana asing melalui lelang surat berharga negara (SBN) hari ini yang berhasil memenuhi target Rp 7 triliun dan oversubscribed, posisi rupiah masih tetap rawan.
Dari regional, dolar Singapura ditransaksikan di 1,2248 per dolar AS, dolar Hong Kong 7,7531 per dolar AS, dan won 1.056,55 per dolar AS. Adapun yuan 6,2157 per dolar AS dan ringgit 3,01 per dolar AS.