BPH Migas Akan Pasang Pelacak Bensin

Reporter

Jumat, 21 Desember 2012 11:27 WIB

BPH Migas. TEMPO/Eko Siswono Toyudho

TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas), Andy Noorsaman Sommeng, menjelaskan, rencana investasi BPH Migas senilai Rp 100 miliar pada 2013 akan meliputi beberapa sistem teknologi informasi. Dana tersebut tidak hanya untuk membuat ruang pantau dan kendali pasokan BBM bersubsidi yang disebutnya war room.

Andy mengatakan, ada tiga proyek TI yang akan dikembangkan BPH Migas pada tahun depan. Pertama adalah teknologi tagging atau penanda untuk membedakan BBM bersubsidi. "Jadi ada teknologi penanda di BBM-nya, nanti bisa di-tag dari mana asal dan tujuan BBM," kata Andy ketika ditemui usai Malam Penganugerahan Penghargaan Efisiensi Energi Nasional 2012, di Jakarta, Kamis malam, 20 Desember 2012.

Teknologi kedua adalah pusat kendali dan monitor yang akan memonitor ketersediaan bahan bakar minyak secara nasional yang disebutnya war room. Ketiga adalah untuk pengumpulan data pengguna BBM bersubsidi seperti angkutan umum dan nelayan. "Ini bisa menggunakan radio frequency identification (RFID), kartu pintar, atau barcode," kata Andy.

Andy belum memberi gambaran yang jelas berapa besaran biaya masing-masing teknologi pengawas penyaluran BBM bersubidi ini. Namun, dalam perkiraan awal, Andy mengatakan ketiga program ini akan mendapat anggaran sekitar Rp 30 miliar. "Rp 100 miliar akan dibagi tiga sama rata, tapi nanti akan kami lihat lagi karena konsepnya harus disiapkan dengan baik," kata lelaki yang menjadi Kepala BPH Migas sejak Januari 2012 ini.

Anggota Komite BPH Migas ketika dihubungi secara terpisah menyatakan bahwa keberhasilan pengendalian BBM bersubsidi tahun depan tak cukup dicapai dengan teknologi. Nantinya BPH Migas juga akan menyiapkan sejumlah ketentuan tambahan untuk mengatur penyaluran BBM bersubsidi. "Teknologi harus ditopang aturan, misalnya sekali isi berapa banyak. Ketentuan ini yang akan membuat teknologi ini akan efektif," kata Ibrahim.

Ibrahim mengatakan, mekanisme pengawasan subsidi di Indonesia memang harus lebih ketat dibandingkan dengan negara lain. Soalnya, subsidi yang diberikan sangat besar sehingga disparitas harga dengan yang nonsubsidi besar dan rawan disimpangkan, seperti diselundupkan ke luar negeri atau ke industri. "Di tempat lain subsidi langsung tidak masif seperti di Indonesia. Indonesia ini sudah subsidi di seluruh negeri. Perbedaan harganya besar sekali," kata Ibrahim.

Direktur Eksekutif Reforminer Institute, Pri Agung Rakhmanto, mengatakan perbedaan harga yang sangat besar menyebabkan pengawasan sulit dilakukan. Selain itu, kondisi geografis Indonesia sebagai negara kepulauan juga membuat pengawasan lebih sulit.

Pri mengatakan saat ini rata-rata negara yang memberikan subsidi harga BBM adalah negara-negara kaya minyak dan tak kesulitan secara keuangan untuk mensubsidi. Berbeda dengan Indonesia yang sudah menggantungkan hampir 70 persen kebutuhan bensin bersubsidi dari impor. "Di Indonesia harus ketat karena anggaran terbatas, sehingga kalau jebol jadi memberatkan. Jadi harus dibuat seperti ini," kata Pri Agung, dalam kesempatan terpisah.

BERNADETTE CHRISTINA

Berita terkait

Pertamina: Kenaikan Harga BBM Jangan Dikaitkan dengan Aplikasi MyPertamina

4 September 2022

Pertamina: Kenaikan Harga BBM Jangan Dikaitkan dengan Aplikasi MyPertamina

Kenaikan harga BBM tak menyurutkan rencana perseroan membatasi penyaluran Pertalite dan Solar agar tepat sasaran.

Baca Selengkapnya

Puasa, Pertamina Tambah Stok BBM di Kalimantan

11 Mei 2017

Puasa, Pertamina Tambah Stok BBM di Kalimantan

Pertamina Balikpapan akan menambah kuota BBM selama puasa sebesar 7 persen.

Baca Selengkapnya

Jokowi Minta Impor BBM Ditekan

5 Januari 2017

Jokowi Minta Impor BBM Ditekan

Presiden Joko Widodo mengingatkan separuh dari kebutuhan BBM dalam negeri dipenuhi dari impor.

Baca Selengkapnya

Pertamina dan AKR Jadi Penyalur BBM Tertentu 2017

25 November 2016

Pertamina dan AKR Jadi Penyalur BBM Tertentu 2017

Pemerintah menunjuk badan usaha penyalur bahan bakar minyak (BBM) tertentu dan penugasan 2017.

Baca Selengkapnya

Premium Belum Jadi Dihapus, Ini Sebabnya  

30 September 2016

Premium Belum Jadi Dihapus, Ini Sebabnya  

Pemerintah belum bisa mewujudkan rencana penghapusan bahan bakar minyak jenis Premium kendati masyarakat mulai beralih dari Premium.

Baca Selengkapnya

Libur Panjang, Konsumsi BBM Pertamina Naik 10 Persen

6 Mei 2016

Libur Panjang, Konsumsi BBM Pertamina Naik 10 Persen

Pertamina memproyeksikan konsumsi bahan bakar minyak (BBM) untuk transportasi mengalami kenaikan sekitar 10 persen saat libur panjang.

Baca Selengkapnya

Kementerian ESDM: Premium di Jakarta Bisa Dihapus  

3 Februari 2016

Kementerian ESDM: Premium di Jakarta Bisa Dihapus  

Pemerintah akan melihat aspek untung-rugi menghapus Premium.

Baca Selengkapnya

Ini Beda Premium, Pertalite, Pertamax, dan Pertamax Plus

25 Juni 2015

Ini Beda Premium, Pertalite, Pertamax, dan Pertamax Plus

Pertalite sudah disetujui DPR untuk dipasarkan.

Baca Selengkapnya

Antisipasi Lebaran, Pertamina Tambah Impor Premium  

16 Juni 2015

Antisipasi Lebaran, Pertamina Tambah Impor Premium  

Dalam kondisi normal, konsumsi Premium rata-rata 76.258 kiloliter per hari.

Baca Selengkapnya

Pertamina Klaim Pertalite Lebih Ramah Lingkungan  

22 April 2015

Pertamina Klaim Pertalite Lebih Ramah Lingkungan  

Emisi karbon Pertalite di bawah Premium.

Baca Selengkapnya