Dr. Kwik Kian Gie ketika memberikan keterangan sebagai saksi ahli di ruang sidang Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu (6/6). TEMPO/Dhemas Reviyanto
TEMPO.CO, Jakarta - Kwik Kian Gie menilai pembentukan Badan Pelaksana Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) pada pemerintahan Presiden Megawati merupakan kesalahan fatal di masa lampau. Pasalnya, hal tersebut bisa mengakibatkan seluruh kepemilikan aset Indonesia disita oleh pihak yang berkontrak dengan BP Migas, apabila badan tersebut gagal memenuhi kewajiban kontrak.
"BP Migas itu kan badan pemerintah, tetapi dilahirkan untuk berdagang. Jadi, kalau ada fraud dalam kontrak yang tidak bisa dipenuhi oleh BP Migas, seluruh aset kepemilikan negara Indonesia bisa disita oleh pihak lain," ujar mantan Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Industri pada masa pemerintahan Presiden Megawati itu kepada Tempo, Selasa, 20 November 2012.
Kwik melihat kembali pada masa sebelum pembentukan BP Migas dan pelaksanaan industri migas negara masih dikelola oleh PT Pertamina. Hal itu dinilainya merupakan langkah yang sudah tepat. "Sebelum ada BP Migas, yang berdagang kan Pertamina. Kalau Pertamina itu kan PT, tanggung jawabnya terhadap modal dimiliki Persero. Jadi kalau ada penyitaan, aset Pertamina yang disita,” tuturnya, usai acara Seminar Nasional "Inefficient of Banking Sector in Indonesia's Economic Development - Whose Responsibility?" di Kwik Kian Gie School of Business.
Ia menilai adanya niat yang tidak baik dari upaya pembentukan BP Migas untuk menguasai negara Indonesia dari pihak tertentu. Kwik menyebutkan bahwa pembentukan BP Migas melalui pemerintahan Presiden Megawati merupakan pesanan dari lembaga Amerika, United States Agency for International Development (USAID).
Menurut Kwik, selain pihak penggugat yang kebanyakan berasal dari tokoh-tokoh Muhammadiyah dan pakar-pakar migas, Mahkamah Konstitusi (MK) juga melihat tujuan itu di balik Undang-Undang Pembentukan BP Migas, yang berujung pada pembubaran BP Migas.